GUBERNUR ALI MAZI GAGAL MEMAHAMI PENJABAT SEMENTARA BUPATI/WALI KOTA

458
La Ode Muhaimin

 

La Ode Muhaimin

Tanggal 22 Mei 2022 menjadi hari terakhir masa jabatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia yang terpilih melalui Pilkada tahun 2017. Di Sultra, terdapat tiga Kepala Daerah yang memasuki purna bhaktinya, yakni Bupati Buton Tengah, Buton Selatan, dan Muna Barat.

Karena Pilkada digelar tahun 2024 tentunya jabatan Bupati diisi oleh pejabat pelaksana dari kalangan PNS (Sekretaris Daerah atau Pimpinan Jabatan Tinggi Pratama lainnya) yang diusul oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri Dalam Negeri.

Istilah pejabat pelaksana, bervariasi penyebutannya dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UU Administrasi Pemerintahan (30 Tahun 2014) hanya mengenal Plh (Pelaksana harian) dan Plt (Pelaksana tugas). Sedangkan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2016 menyebut Penjabat. Permendagri No. 80 Tahun 2018 menyebut Plh, Plt, dan Penjabat (sudah dicabut).

Permendagri No. 120 Tahun 2018 menyebut Plh, Plt, Penjabat, dan Penjabat Sementara (Ketentuan Umum). Permendagri No. 1 Tahun 2018 hanya menyebut Pjs (Penjabat Sementara).
Varian istilah pejabat pelaksana tersebut harus dibaca secara cermat dan saksama dengan nomenklatur jabatannya, terkhusus jabatan Kepala Daerah.

Nah! Bagaimana membaca dan memahami pengisian jabatan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya 22 Mei 2022 yang diisi dengan pejabat pelaksana? Pada konteks ini, analisis pengisian pejabat pelaksana merujuk pada UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Jadi, ada dua sisi yang patut diperhatikan, yakni sisi jabatan Gubernur, Bupati, Wali Kota yang prosedur pengisiannya melalui Pilkada dan sisi pejabat pelaksana yang diisi dengan cara penunjukan oleh Pemerintah Pusat (Presiden dan Menteri Dalam Negeri).

Tulisan ini akan menganalisisnya dari perspektif hukum tata negara/administrasi negara. Plh dan Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota
Plh Gubernur/Bupati/Wali Kota (selanjutnya disingkat Plh. GBW) ditunjuk untuk menggantikan Gubernur/Bupati/Wali Kota (disingkat GBW) karena GBW berhalangan sementara (mis: sakit). Penunjukan sebagai Plh. GBW tidak memerlukan SK dan tidak pula dilantik. Sedangkan Plt. GBW ditunjuk karena GBW berhalangan tetap (mis: meninggal dunia). Penunjukannya tidak pula membutuhkan SK (hanya karena kebutuhan administrasi maka diperlukan SK) dan tak pula dilantik.

Mengapa tidak perlu SK dan dilantik? Karena Plh/Plt GBW memiliki jabatan induk yang ditugaskan oleh pejabat atasan (berwenang) melaksanakan tugas GBW. Kewenangan Plh/Plt GBW hanya menjalankan tugas sehari-hari (rutin) GBW sampai dengan GBW kembali melaksnakan jabatannya. Kecuali GBW yang meninggal dunia, Plt GBW akan menjabat sampai habis masa jabatannya atau dikukuhkan sebagai GBW. Pengukuhannya melalui Keputusan dan dilantik sebagai GBW.

Kewenangan yang dijalankan oleh Plh dan Plt GBW merupakan kewenangan mandat yang diperoleh dari pemberi mandat, bukan kewenangan delegasi. Karena itu, kewenangannya dibatasi dan tidak memiliki wewenang seperti GBW defenitif.

Pj dan Pjs Gubernur/Bupati/Wali Kota
secara akademis istilah Pj dan Pjs adalah sejenis. Secara hukum, kedua istilah ini didesain pengertiannya sedemikian rupa agar terlihat berbeda. Namun, teramat sulit menemukan benang merah perbedaannya, karena kewenangan Pj maupun Pjs juga dibatasi. Pembatasannya sama persis dengan Plt. Karena itu, antara ketiganya tidak terdapat perbedaan dan merupakan pejabat pelaksana dengan kewenangan terbatas.

Namun demikian, perlu membedakan antara Pj/Pjs GBW yang diangkat untuk daerah yang baru dibentuk (Daerah Otonom Baru, disingkat DOB) dengan Pj/Pjs untuk GBW yang habis masa jabatannya tanggal 22 Mei 2022 (Pilkada digelar 2024). Kalau dua hal tersebut (Pj/Pjs DOB dan Pj/Pjs GBW yang mengisi jabatan GBW karena habis masa jabatannya 22 Mei 2022) tidak mendalam memahaminya maka timbul kekacauan yang berpotensi kegaduhan dalam tubuh pemerintahan.

Pj/Pjs GBW untuk DOB diatur dalam satu regulasi tersendiri dalam hal pelantikannya (lihat Perpres No. 16/2016). Karena diatur tersendiri, dilekatkan pula konsekuensinya, seperti adanya Keputusan pengangkatan dan pelantikan serta ditetapkan masa jabatannya 1 tahun. Namun begitu, kewenangan Pj/Pjs GBW untuk DOB tetap pula terbatas karena UU Administrasi Pemerintahan mengadopsi pengertian Plt sama dengan Pj/Pjs. UU ini merupakan UU payung (umbrella act) yang memayungi semua ketentuan tentang admnistrasi pemerintahan.

Sedangkan Pj/Pjs untuk GBW yang habis masa jabatannya tidak memerlukan pelantikan dan hanya membutuhkan Keputusan dari Pemerintah Pusat (Presiden utnuk Pj/Pjs Gubernur dan Mendagri untuk Pj/Pjs Bupati/Wali Kota). Dalam hal kewenangan, Pj/Pjs untuk GBW yang habis masa jabatannya juga sama dengan Pj/Pjs GBW untuk DOB.

Hanya masa jabatannya tidak ditetapkan seperti Pj/Pjs GBW untuk DOB karena bunyi peraturannya menetapkan masa menjabatnya sampai dengan dilantiknya pejabat defenitif. Maknanya, sepanjang Presiden/Mendagri tidak menggantinya di tengah masa menjabantnya dengan PNS lainnya, mereka tetap menjabat sampai dilantiknya GBW defeniif. Singkatnya, waktu menjabatnya “flesibel”.

Gagal Paham.
Mengamati langkah Gubernur Ali Mazi yang tidak “melantik” Pj/Pjs Bupati Buton Selatan dan Muna Barat bukan sesuatu yang salah. Justru Ali Mazi melakukan tindakan yang benar. Sebab, Pj/Pjs GBW yang habis masa jabatannya dan Plt GBW karena GBW berhalangan tetap tidak dikukuhkan melalui pengambilan sumpah jabatan/pelantikan. Pejabat sementara atau pejabat pelaksana tidak dilantik/diambil sumpah jabatannya karena ia hanya menjabat sementara saja dan tidak mengucapkan sumpah jabatan.

Jika pejabat sementara dilantik/diambil sumpah jabatannya maka sama dengan mendefenitifkan sang pejabat, tidak terkecuali bagi Gubernur/Bupati/Wali Kota. Tontonan yang anomali terjadi di Kendari, karena Ali Mazi melantik Pj/Pjs Bupati Buton Tengah, apalagi dilantik bersama Wali Kota Baubau La Ode Ahmad Monianse. Maka bertambahlah kekacauan hukum yang dapat mencoreng reputasi sang Gubernur.

Melantik Pj/Pjs Bupati Buton Tengah bersamaan dengan Wali Kota Baubau sama konteksnya mengambil sumpah jabatan Kepala Daerah defenitif. Implikasinya, Pj/Pjs Bupati Buton Tengah secara hukum merupakan Bupati defenitif. Sementara Keputusan Mendagri menunjuknya sebagai Pj/Pjs. Kecelakaan ini harus menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali.

Melantik adalah mengambil sumpah jabatan seorang pejabat defenitif yang dibedakan dengan penyerahan Keputusan penunjukan/pengangkatan pejabat sementara. Dengan demikian, maka Pj/Pjs Bupati Buton Selatan dan Muna Barat sejak tanggal 23 Mei 2022 telah absah dan legal sebagai Pj/Pjs berbekal Keputusan Mendagri.

Keputusan Mendagri tentang penunjukan keduanya sebagai Pj/Pjs tidaklah dieksekusi melalui pelantikan karena sejak tanggal tersebut keduanya sudah berstatus sebagai Pj/Pjs yang disebabkan oleh berakhirnya masa jabatan Bupati defenitif.

Plh Bupati dan Kewenangan Mandat
Apakah tidak dilantiknya Pj/Pjs Bupati Busel dan Mubar bermakna tidak adanya Pj/Pjs di dua daerah tersebut? Tentu tidak, sebagaimana diuraikan di atas. Malah bertambah kacau jika ditutupi dengan menunjuk Plh Bupati. Plh adalah pejabat pelaksana harian dimana pejabat defenitifnya berhalangan sementara, yang harus dipisahkan dengan dengan pejabat defenitif yang berhalangan tetap, habis masa jabatannya, dan penjabat GBW DOB.

Bupati Busel dan Bupati Mubar sudah habis masa jabataannya. Habisnya masa jabatannya bukan karena meninggal dunia tetapi karena Pilkada baru dilaksanakan tahun 2024. Sehingga, terdapat kekosongan jabatan Bupati di dua daerah itu. Untuk sementara waktu, jabatan Bupati diisi oleh Pj/Pjs yang ditunjuk oleh Mendagri sampai dengan dilantiknya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil Pilkada 2024.

Penujukan Pj/Pjs GBW oleh Mendagri melalui Keputusan secara otomatis mereka berubah status sebagai Pj/Pjs GBW, tidak terkecuali Pj/Pjs Bupati pada dua daerah di Sultra. Dengan demikian, siaran pers yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang mengklaim adanya penundaan pelantikan Pj/Pjs Busel dan Mubar adalah satu kesalahan fatal. Legalitas siaran pers tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, izinkan saya menyampaikan hal yang sudah umum diketahui publik. Kewenangan Ali Mazi melakukan pelantikan pejabat Bupati/Wali Kota defenitif adalah kewenangan mandat dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah Pusat. Meskipun, misalnya Pj/Pjs Bupati Busel dan Mubar mesti dilantik dulu oleh Gubernur Ali Mazi, namun kewenangan pelantikan bisa ditarik/dicabut oleh Mendagri. Mendagri sendirilah yang melantiknya.

Penulis: Pengajar Hukum Tata Negara Unidayan Baubau