Oleh: Duriani
Pada 27 November 2024 nanti, masyarakat Indonesia baik itu ditingkat kabupaten/kota hingga provinsi kembali akan melaksanakan pesta demokrasi secara langsung dan serentak. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), momen ini harus diakui cukup menguras energi, waktu serta anggaran daerah yang begitu besar.
Disetiap daerah, masyarakatnya mau tidak mau, suka tidak suka akan “terbelah” sesuai jumlah kontestan atau jumlah pasangan calon (paslon). Sedangkan indonesia merupakan negara dengan multi etnis yang memiliki aneka ragam suku, budaya, bahasa, dan agama bersatu di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Namun, adakalanya tidak demikian halnya dalam kenyataan. Keanekaragaman dan perbedaan itu merupakan potensi terpendam pemicu konflik.
“Konflik” yang terjadi di masyarakat saat ini memang bukanlah konflik secara fisik seperti tawuran, perang, dan pertikaian lainnya. Jika dirunut akar masalahnya adalah informasi hoax, penyebaran fitnah dan pola pikir yang tidak dapat menerima perbedaan dalam sebuah pesta demokrasi yang dilakukan oknum-oknum tertentu.
Konflik yang terjadi saat ini adalah konflik perang statement, ujaran kebencian, fitnah, dan informasi hoax yang jamak dilakukan para politisi, kader partai, juru bicara, relawan dan pendukung para calon kandidat di masing-masih kubu.
Hal ini masih ditambah dengan perang statement antar kandidat yang kadangkala tidak menyejukkan dan malah saling serang sehingga program yang diusung tidak menjadi hal utama untuk dibahas.
Informasi mengenai konflik para politisi partai, pendukung paslon, dan relawan masing-masing paslon bahkan debat yang kadang kala tidak mendidikpun dapat dengan mudah disaksikan di media massa baik media online, media cetak, media televisi maupun media sosial.
Media massa merupakan salah satu alat dalam proses komunikasi massa, karena media massa mampu menjangkau khalayak yang lebih luas dan relatif lebih banyak, heterogen, anonim, pesannya bersifat abstrak dan terpencar.
Media massa sendiri dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai perangkat yang diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan pada situasi yang berjarak kepada khalayak luas dalam waktu yang relatif singkat. Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal.
Peristiwa konflik yang terjadi akan selalu ada media yang meliput, karena isu memang “seksi” bagi insan media. Peristiwa yang mengandung konflik adalah salah satu peristiwa yang dianggap layak untuk dijadikan sebuah berita. Konflik dianggap memiliki nilai berita yang termasuk tinggi karena biasanya menimbulkan kerugian atau korban.
Media massa cenderung saling ‘berlomba-lomba” dalam memberitakan sebuah peristiwa konflik. Baik media mainstream yang sudah terdaftar maupun media baru yang memang belum terverifikasi baik secara administrasi maupun faktual. Belum lagi ditambah dengan banyaknya informasi yang didapatkan di media sosial. Informasi hoax pun saling bertebaran di laman media sosial kita.
Menurut Alo Liliweri, dalam bukunya Prasangka dan Konflik. Konflik merupakan bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan.
Konflik juga dapat diartikan hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran- sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan.
Tiga faktor dasar penyebab konflik yakni pertama, berlomba dalam memanfaatkan sumber langka (competition for scare resources). Kedua, dorongan dalam memperoleh otonomi (drives for outonomy) dan ketiga perbedaan di dalam mencapai tujuan tertentu (disvergence of sub unit goals).
Dalam arena publik, berbagai isu maupun permasalahan sosial seperti “pertarungan” pesta demokrasi berupa Pilkada baik statement oleh kandidat maupun pendukungnya selalu menjadi konsumsi publik yang disajikan dengan berbagai perspektif oleh media-media yang meliput. Media menjadi bukan hanya semata deretan huruf maupun gambar tanpa makna, lebih dari itu, ia pun bertindak sebagai pembawa pesan.
Tidak hanya sebagai medium, media juga dapat menempatkan diri sebagai pelaku dalam mendefinisikan realitas sosial dan memilih isu apa yang dianggap penting dan relevan. Fenomena ini dapat kita lihat secara kasat mata dengan makin beragam dan canggihnya industri media komunikasi dengan sajian berbagai macam informasi yang melimpah ruah.
Media mengalami perubahan karakter mengikuti perubahan politik yang terjadi di negara ini. Sebagai salah satu kekuatan sosial, sebagian media tidak lagi hanya menyampaikan realitas, namun bekerja berdasarkan kecenderungan, kepentingan dan keberpihakan yang dianggapnya penting.
Di era reformasi saat ini, media menyajikan produk jurnalistiknya dengan cara yang lebih lugas dan terang-terangan. Media semakin berani menulis dan membangun sebuah realitas sosial di luar sumber formal kekuasaan. Kondisi ini juga mengakibatkan media mampu mempengaruhi opini publik dengan framing terhadap sebuah pemberitaan.
Analisis framing merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Perspektif itu akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita itu.
Di era kebebasan saat ini, tidak ada lagi syarat ketat dalam mengelola dan menerbitkan media massa seperti yang terjadi di masa orde baru. Sehingga siapa yang memiliki modal dan kemampuan berhak mengelola penerbitan media massa. Pemberitaan oleh media menjadi subjektif, karena “isi” media dapat dikonstruksi oleh pemilik dengan beberapa penonjolan dalam sudut pandang tertentu.
Media dapat menjadi komunikator yang “memainkan” isi berita sehingga isi berita dapat dikontrol oleh media massa. Hal ini memang menjadikan isi berita seperti dua mata pisau.
Dalam sebuah peristiwa konflik, media massa dapat memberitakan konflik tersebut secara berimbang dengan prinsip “peace journalism/jurnalisme damai” Sehingga isi berita yang disampaikan dapat meredam konflik.
Namun di sisi lain, media massapun juga dapat menggunakan kekuasaannya dengan prinsip “war journalism/jurnalisme perang” dengan memberitakan konflik tersebut tidak berimbang dan disajikan secara “membabi buta” tanpa memperhatikan norma-norma jurnalistik yang ada sehingga isi berita dimaksud malah memperparah sebuah konflik yang terjadi di masyarakat.
Pemberitaan media massa ini dapat dianalisis berdasarkan Teori Agenda Setting yang dikenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw yang pada prinsipnya media massa membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting oleh media dengan teknik pemilihan dan penonjolan. Media memberikan penekanan tentang isu yang lebih penting untuk disajikan bagi khalayak.
Media mungkin tidak selalu berhasil menginformasikan kepada publik “hal apa yang dipikirkan”, namun berhasil memberitahukan audiencenya “tentang apa yang harus dipikirkan”. Intinya, media massa mempunyai kemampuan untuk memindahkan wacana dalam agenda pemberitaan kepada agenda publik. Kedua ahli tersebut percaya bahwa sisi yang digunakan pada teori ini untuk mengkaji media yaitu melihat kekuatan dari media dalam mempengaruhi opini publik tentang sesuatu peristiwa.
Hal inilah yang membuat media massa mempunyai power untuk mengkronstruksi nilai-nilai dalam sebuah berita agar berita yang diproduksi mampu meredam sebuah konflik atau malah sebaliknya. Media seharusnya dipandang sebagai sebuah intitusi yang bebas dari nilai dan menyampaikan realitas secara apa adanya. Namun, juga tidak dapat dipungkiri bahwa media saat ini merupakan sebuah institusi yang mempunyai berbagai macam kepentingan yang dalam mencapai kepentingan itu melakukan berbagai macam konstruksi realitas.
Pada tulisan ini, saya mencoba berusaha mendasarkan pada analisis framing untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Dengan demikian, realitas sosial dipahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan dan makna tertentu. Elemen-elemen tersebut bukan hanya bagian dari teknis jurnalistik melainkan menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan.
Ada dua dua esensi utama dari analisis framing yaitu pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang diliput dan mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian fakta, kalimat dan gambar untuk mendukung gagasan.
Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Di sini realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita namun, ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.
Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda realitas. Realitas diamati wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas, konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.
Penulis adalah wartawan media online di Wakatobi