KENDARI, TRIBUNBUTON.COM – Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Roni Muchtar. Tiba-tiba hadir di Kantor Walikota Baubau, Kamis 6 Juli 2023.
Roni Muchtar, yang beberapa bulan lalu telah diganti dengan pejabat lainnya. Hadir di Kantor Walikota Baubau didampingi penasehat hukumnya. Dengan maksud ingin kembali menduduki jabatannya sebagai Sekda Kota Baubau.
Fenomena itu tentu saja mengejutkan banyak pihak. Karena tidak seperti biasa ada seorang pejabat yang sudah diganti lalu membuat gaduh dengan alasan ada penetapan putusan pengadilan yang menunda pelaksanaan SK Walikota terkait pemberhentian dan pergantian Sekda.
Pakar Hukum Tata Negara, DR La Sensu SH.MH, menjelaskan ketika seorang pembina pejabat kepegawaian melakukan rotasi dan pergantian pejabat adalah hal yang lumrah. Karena tidak melanggar peraturan perundang undangan.
Jika seorang pejabat dalam jabatan pimpinan tinggi pratama sudah berakhir masa jabatannya, maka seorang pejabat yang bersangkutan harus legowo.
“Jabatan itu harus dia serahkan kepada orang lain yang memenuhi standar kompetensi. Sekaligus dalam jabatan itu tidak perlu kita pertahankan. Karena jabatan itu adalah titipan dan amanah.
Sehingga saya melihat perkembangan di Pemda Kota Baubau itu, seyogyanya ketika berakhir masa jabatan seseorang, maka seorang Walikota dapat saja mengganti pejabat yang bersangkutan,” kata La Sensu.
Menurutnya, dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam pendekatan hukum administrasi negara, bila mana ada putusan lembaga peradilan dalam penyelesaian kasus administrasi, maka poin utama yang perlu disikapi adalah sistem merid dalam manajemen aparatur sipil negara. Tentu tetap mengacu pada regulasi yang berlaku bagi ASN.
Selanjutnya kata La Sensu, dalam urusan tata kelola pemerintahan. Mutasi dan rotasi adalah hal yang lumrah karena merupakan bagian dari reorganisasi. Yang tidak lumrah itu adalah pejabat dalam jabatan pimpinan tinggi pratama, sudah bertugas selama lima tahun tetapi tidak mau diganti. Maka itulah yang luar biasa.
“Luar biasa, karena seolah olah jabatan itu merupakan hak milik orang per orang. Padahal, jabatan itu merupakan titipan dan amanah. Sehingga kita perlu memahami aturan perundang undangan secara konfrehensif agar tida menimbulkan salah tafsir dalam penetapannya,” ujarnya.
La Sensu, menambahkan dalam kasus ini ada polemik bahwa seolah-olah pejabat pembina kepegawain dalam hal ini Walikota, melakukan pelanggaran hukum. Padahal, pemberhentian Sekda itu sudah memenuhi sarat administrasi, karena masa tugas sebagai sekda telah berakhir.
“Sekalipun dalam pemberhetian itu dapat saja dipakai kembali apabila memenuhi sarat kompetensi. Sarat kompetensi yang dimaksud adalah adanya penilaian kinerja kompetensi itu sendiri, sekaligus sudah ada hasil rekomendasi komisis ASN,” jelasnya.
Masih kata La Sensu, putusan pengadilan tata usaha negara yang menunda pelaksanaan SK Walikota itu bukan berarti secara otomotasi mantan pejabat harus dikembalikan menduduki jabatannya sebagai sekda. Sebab tidak dapat diaktifkan kembali karena telah berakhir masa jabatannya.
Sebagai warga negara yang baik, La Sensu, mengungkapkan sebagai pejabat yang diganti atau diberhentikan punya hak menggugat ke pengadilan, tapi tdak boleh yang bersangkutan memaksakan diri untuk kembali bertugas.
“Harapan saya adalah, kiranya para pihak kembali duduk bersama untuk melihat masalah yang ada. Pada sisi aturan perundang undangan atau regulasi yang berlaku. Yang saya maksud, kalau sudah selesai masa tugas lima tahun, maka silahkan saja mengikuti kembali syarat dan prosedur dalam lelang jabatan,” tutup La Sensu. (Tribunbuton.com/adm)