BAUBAU, TRIBUNBUTON.COM– Sosok anggota DPRD Kota Baubau inisial NA, beberapa waktu lalu ramai diberitakan sejumlah media online. Belakangan terkuak, jika legislator Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu ternyata mantan narapidana kasus judi.
Fakta ini terungkap dari jejak digital yang tercatat dalam laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Baubau. Dari hasil penelusuran, perkara teregistrasi dengan nomor 203/PID.B/2015/PN BAU tertanggal 24 Agustus 2015. Kasusnya diklasifikasikan sebagai tindak pidana perjudian.
Saat itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dedy Karto Ansiga, SH, menangani perkara ini. Persidangan berlangsung selama tiga kali: pembacaan dakwaan dan pemeriksaan saksi pada 1 September, pemeriksaan terdakwa pada 8 September, dan putusan pada 15 September 2015.
NA bersama rekannya didakwa dengan dua pasal. Pertama, Pasal 303 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua, dakwaan subsider Pasal 303 Bis ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
“Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa masing-masing selama lima bulan penjara, dikurangi masa tahanan, dengan perintah tetap ditahan,” demikian kutipan dari tuntutan JPU dalam laman SIPP.
Namun, dalam amar putusan keduanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena turut serta berjudi. Putusan pengadilan menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara, dengan masa penahanan yang telah dijalani dikurangkan seluruhnya dari pidana.
Barang bukti berupa dua lembar kupon putih dirampas untuk dimusnahkan, dan satu unit ponsel Mito disita untuk negara.
Tanda Tanya Besar: SKCK dan Surat Pengadilan
Keterlibatan NA dalam perkara pidana ini menimbulkan pertanyaan serius terkait keabsahan pencalonannya sebagai anggota DPRD. Diduga, saat mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) di Polres Baubau, tidak mengungkap statusnya sebagai mantan narapidana.
Padahal, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2023 Pasal 13 ayat (1) huruf e mewajibkan pemohon SKCK mencantumkan riwayat pidana. Jika pernah dipidana, harus ada syarat tambahan. Pasal 14 dan 15 juga mengatur kewajiban pencantuman status hukum dan pasal yang dilanggar.
Namun, Surat Keterangan Tidak Pernah Terpidana dari Pengadilan Negeri Baubau dengan nomor 222/SK/HK/05/2023/PN Bau tertanggal 3 Mei 2023 justru menyatakan bahwa yang diduga milik salah satu kader Hanura itu, mencantumkan keterangan tidak sedang atau tidak pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Atas temuan itu, beberapa waktu lalu media ini mengonfirmasi hal ini ke KPU Baubau melalui Ketua Divisi Teknis, Farida. Ia mengakui bahwa saat verifikasi, ditemukan sejumlah bakal calon anggota DPRD yang tidak mencantumkan status sebagai mantan narapidana.
“Waktu itu langsung kita umumkan ke publik. Artinya, mereka tidak jujur,” kata Farida via sambungan telepon.
Terkait temuan tersebut, Farida menjelaskan bahwa karena proses pencalonan telah selesai dan yang bersangkutan telah dilantik, maka langkah selanjutnya berada di tangan partai pengusung.
“Kami sudah bersurat ke kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kalau sekarang terbukti dia tidak jujur, ya partainya yang ambil tindakan,” jelasnya.
Farida juga mengungkapkan bahwa saat verifikasi ke Pengadilan Negeri Baubau, pihak pengadilan menginformasikan bahwa berkas perkara sebelum tahun 2020 belum tersedia dalam sistem digital karena masih ditangani secara manual.
Berdasarkan data yang dihimpun, pada tahapan Pileg 2024 lalu, terdapat calon legislatif dari partai lain yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) oleh KPU karena kasus serupa atau tidak jujur mencantumkan status sebagai mantan napi dalam surat keterangan pengadilan.
Pertanyaannya, bagaimana bisa lolos? Apakah Polres Baubau, Pengadilan Negeri Baubau, dan KPU Kota Baubau telah kecolongan?
Seperti diketahui, proses penerbitan surat keterangan dari pengadilan (melalui situs Eraterang) mengacu pada dokumen SKCK yang diterbitkan oleh Sat Intelkam Polres Baubau. Jika SKCK yang diterbitkan tidak mencantumkan status hukum, maka tak heran pengadilan pun menganggap pemohon tidak pernah terpidana.
Jika benar demikian, maka tiga institusi negara yakni kepolisian, pengadilan, dan KPU bisa dikatakan telah menjadi korban ketidakjujuran pemohon surat yang menjadi sarat kelengkapan pencalegkan. Ataukah sebenarnya ini bentuk kelalaian kolektif dalam verifikasi administrasi pencalonan legislatif?
Terkait SKCK yang diduga bermasalah, sejumlah wartawan telah melakukan upaya konfirmasi kepada Polres Baubau. Sayangnya sampai berita ini diturunkan belum ada penjelasan terkait persoalan tersebut dari pihak kepolisian.
“Kita sekarang satu pintu untuk pemberian keterangan media, nanti sama Kasi Humas langsung untuk konfirmasi,” ujar Kasat Intel Polres Baubau, IPTU Bustam. (adm)