
- Bagaimana Dengan Media yang Hanya Dikelola Sendiri?
“TERKAIT keterangan Dewan Pers (DP), perusahan pers itu salah satunya ada keanggotaan, bagaimana jika media itu hanya dia sendiri?” tanya JPU, Beni Utama SH, kepada Ahli DP, Winarto, pada Sidang Kasus Sadli, Kamis 12 Maret 2020, di PN Pasarwajo, Kabupaten Buton.
YUHANDRI HARDIMAN, PASARWAJO
“ITU tidak memenuhi syarat, karena perusahaan pers harus jelas pembagian tugas reporter, editor, Pemred dan nama redaksi. Bukan perusahaan pers karena tidak memenuhi standar media,” jawab Winarto.
Lalu bagaimana dengan proses verifikasi kalau dilakukan hanya sendiri? Menurut Winarto, ada namanya seorang jurnalis yang cukup memahami keterampilan jurnalistik. Atau dia freelance kirim berita ke media lain, maka yang berhak koreksi adalah editor media bersangkutan. Berita yang tidak melalui proses verifikasi, DP melihatnya tidak aman, konsewensinya kemungkinan aka ada persoalan berita.
Hamrullah SH, mempertanyakan perusahaan pers yang belum terdaftar di DP, apakah memiliki hak untuk menerbitkan berita?
Perusahaan pers yang kredibel, beritanya konstruktif, masyarakat akan melihatnya sebagai media profesional. Sedangkan media yang belum terverifikasi kemungkinan punya hak tetapi tidak kredibel.
Sebagai bentuk pertanggung jawaban, perusahaan yang tidak terdaftar tetap wajib memiliki penanggung jawab dan dimunculkan di box redaksi. “Kalau belum dimuncukan, dianggap tidak profesional,” jelas Winarto.
Apakah ini perusahaan pers atau pribadi?
Kata Winarto, ada standarisasi media, di antaranya berbadan hukum, ada penanggung jawab dengan kompetensi utama, ada struktur organanisasi, ada penanggung jawab redaksi, ada reporter, redaksi harus independen. “Karena kalau rangkap dengan bisnis akan terjadi konflik.”
Terkait standarisasi media, DP mengirim surat edaran kepada perusahaan pers yang pernah terdaftar. “Kami minta upload kembali dokumennya, jika tidak direspon kami akan hapus, kami anggap tidak ada.” Sejauh ini kata Winarto jika dokumen diajukan paka pihak DP akan menindaklanjuti.
Hakim Ketua, Subai SH MH, setelah mendengar keterangan ahli DP menjawab pertanyaan JPU, disimpulkan bahwa intinya DP hanya mendata untuk memenuhi hak-hak untuk mendaftar. Tidak mengekang, soal tanggung jawab ada tanggung jawab pribadi atau perusahaan.
Terkait kasus, apakah melanggar kodeetik ataukah ITE? Nanti majelis yang uji, karena begitulah yang nilai dari ahli semua demi kebaikan. Hakim lantas bertanya kepada terdakwa M Sadli, apakah ada pertanyaan?
“Cukup yang mulia,” ujar Sadli.
- KTP Wartawan, Antara Kritik dan Konten Hinaan
Berikut mendengar keterangan ahli, Oktaf Riadi dari PWI. Oktaf Riadi adalah Ketua Bidang Advokasi Pembelaan Wartawan, berkantor di PWI Pusat Jakarta. Ketua Majelis Hakim bertanya kepada Oktaf Riadi. Apa hubungan PWI dan Dewan Pers?
“Kita konstituen.”
Siapa saja anggota PWI? “Semua wartawan yang mendaftarkan diri di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Termasuk wartawan online juga bergabung di PWI.”
Kapan masa kerjanya? “Kalau dia berhenti, tergantung kehendak dia, di kantor ada batas pensiun.”
Apakah jaksa bisa jadi wartawan? Kalau berhenti dari jaksa bisa jadi wartawan. Tetapi ada PNS jadi wartawan karena sejarah, misalnya RRI dan Antara karena ikut mendirikan PWI.
Apakah semua KTP wartawan bertuliskan wartawan? Karyawan swasta saja, tetapi ada juga yang minta ditulis wartawan.
Sebagai PWI, adakah kodeetik PWI? Kodeetik PWI (KEJ) ada 11 pasal, misalnya tidak boleh memaksa meminta uang suap, tidak boleh membuat pemberitaan tanpa keahlian, tidak boleh membuat berita tidak berimbang.
Maksudnya apa? Misalnya menulis dengan menuding orang tanpa konfirmasi.
Kalau tanpa konfirmasi apakah bisa dilaporkan? Berkali-kali kasus bergulir, saya 10 tahun jadi Ketua PWI selalu menggunakan UU Pers/1999 ketika ada pemberitaan tidak cover booth side, dihak jawab tidak sampai ke pengadilan. Soal hak jawab belum tentu pembaca akan membaca berita ralat, tetapi sebaliknya berita kemarinnya juga belum tentu dibaca.
Bolehkah share (mebagikan) berita melalui WA? Memang ketika share itu memasuki ranah ITE. Kalau hanya di media sendiri maka dia masuk UU pers.
Dewan Pers yang membuat UU Pers, dinilai ada dualisme UU ITE dan Pers. “Perlu bertemu di DPR bagaimana pers itu sinkronisasinya dan bagaimana rambu-rambunya,” ujar Ketua Majelis Hakim, Subai SH MH.
“Maaf saya juga pernah membela di koran saya Jambi Independen. Mau gugat independen tolong selesaikan dengan UU Pers! Tapi ini kewenangan hakim,” kata Oktaf.
“Bhe memang sekarang dilematisnya seperti itu, coba kalau pers tidak puas, silahkan adukan gugatan perdata,” kata hakim.
Oktaf menjelaskan pernah di Sumatera Selatan judul beritanya tidak beretika, tetapi mereka mengadu ke Dewan Pers. “Wartawan akan gemetaran kalau dipanggil Dewan Pers, saksinya ditegur,” ujar Oktaf.
PWI adakah tembusan dari polisi terkait kasus ini? Tidak ada. “Saya tahu ketika Hari Pers Nasional (HPN), diminta komentar tentang wartawan.”
Kalau ada kodeetik yang dilanggar bagaimana? Saya pernah jadi saksi di Polda Sulsel tentang berita konpensasi. Kami meminta biarkan kami organisasi mendidiknya.
Konten hinaan apa boleh? Berita tulis saja apa adanya, bahwa berita imbang mungkin adalah kritik konsep opini, pandangan kami atau saran redaksi.
Batasan menghina itu, kayak apa bahasa kritik itu, si A boleh kritik si B dihina dalam kritik? Kritik itu isinya membangun tetapi kalau mencaci maki seseorang itu tidak boleh. Misalnya diduga tanpa diduga korupsi karena belum ada putusan dari pengadilan.
Hakim anggota, Hamid SH, bertanya kepada Oktaf Riadi. Saudara ahli pernah ditanya kasus ini di hari pers di Banjarmasin. Ahli tahu tidak bahwa Sadli ini pernah diminta untuk hak jawab. Belum permah atau tidak tidak tahu.
Apakah Sadli ada kartu anggota PWI? JPU bertanya. “Dia pernah ikut orientasi, hanya memiliki kartu orientasi, di sini tertulis tanggal 15-16 Desember 2019,” ujar Oktaf.
Terkait pemberitaan Sadli, Oktaf mengatakan informasi yang ia dapat nahwa berita yang dikasuskan itu sebelum mengikuti orientasi PWI Baubau. Soal organisasi UU Pers meyebutkan wartawan bebas mengikuti organisasi.
Namun kesadaran ikut organisasi menurut dia sangat sedikit. Misalnya wartawan dari media besar merasa tidak perlu ikut organisasi. “Nanti sudah berkasus baru butuh organisasi,” ujar Oktaf.
“Teman-teman wartawan masuklah PWI, bersama itu lebih baik,” ujar hakim.
“Ada MoU dengan kejaksaan, berharap semua kasus pers itu diserahkan ke Dewan Pers,” ujar Oktaf.
“Tetapi MoU harus ada tekanannya untuk kesmpingkan perkara,” tutup hakim.(***)