- Tulisan Ini Berdasarkan Gonjang-Ganjing Dari Masyarakat
TERDAKWA kasus ITE, M Sadli, mengambil tempat duduk di hadapan hakim usai pemeriksaan dua ahli Dewan Pers (DP) dan PWI. Sidang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Pasarwajo, Kamis 12 Maret 2020.
YUHANDRI HARDIMAN, PASARWAJO
SADLI mulai dicecar oleh Ketua Majelis Hakim, Subai SH MH. Terkait berita opini di media online liputanpersada.com dengan judul Abrakadabra Simpang Lima Disulap Jadi Simpang Empat.
“Iya, dimuat di liputanpersada.com, saya tulis lalu kirim ke media online edisi 21 Juli 2019,” jelas Sadli, ketika itu memakai rompi merah bertuliskan Tahanan Kejaksaan Negeri Pasarwajo.
Sadli mengatakan saat menulis ia bukan berstatus pegawai honor, karena bekerja di lapangan tahun 2018. Ketika itu ia sebagai wartawan kominfo meliput kegiatan Bupati Buteng.
Tulisan yang mengantar dia ke kursi pesakitan ini, menurut dia berdasarkan gonjang-ganjing di masyarakat. Ia menjelaskan jika ia terlibat diskusi dengan masyarakat tentang bagaimana kerja proyek fisik di akhir tahun anggaran yang otmatis buru-buru.
Dia lantas menyelidiki sumber anggaran Kebijakan Umum Anggaran – Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPS) dan APBD tahun 2018. Ia juga mengkroscek Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), lalu mengkroscek ke lapangan dan melihat nominal anggaran di papan proyek senilai Rp 6,8 Miilliyar.
“Namanya seorang wartawan punya naluri jurnalis, apakah sudah dikalrifikasi tidak?” tanya hakim.
Sadli mengatakan jika itu opini masyarakat. Namun kata dia, sebelumnya sudah dibuat dengan sumber bupati pernah diminta pendapat.
“Sifatnya opini menyangkut pihak lain too, kalimat saudara Rp 4 Milliyar disulap jadi Rp 6,8 Milliyar,” hakim menimpali.
Berita ini Sadli mengakui belum pernah melakukan klarifikasi. Menurut dia, bertemu bupati sangat sulit karena bupati jarang di daerah.
“Menurut anda ini karya jurnalistik tapi orang lain tidak,” ujar hakim. Hakim mengatakan sebelumnya saksi dari Kabag Hukum mengaku tahu dari Whatsap (wa). “Benar! Kenapa dikirim ke Wa?”
Sadli mengakui mengirim berita melalui WA agar terbaca. Meski demikian, Sadli berpendapat WA adalah ruang tertutup. “Itu kan ruang tertutup yang mulia,” kata Sadli.
“Tapi kan itu privasi,” ujar hakim. Hakim lantas mempertanyakan soal narasi “memang sudah ditahu bupati kalau ada uang jalan mata duitan.”
“Bukan begitu,” Sadli menyela. Banyak pekerjaan pelebaran jalan, harusnya ada kompensasi untuk penggusuran.
Hakim bertanya kenapa tidak digugat ke pengadilan kalau ada tanah warga yang digusur tanpa proses. Atau mungkin bisa diberitakan Bupati Tak Bayar Kompensasi.
Subai SH MH mempersilahkan hakim anggota, Mahmid SH. Mahmid menanyakan kepada Sadli jika kasus ini pernah diajak untuk selesaikan secara kekeluargaan. Pernah ada utusan bupati?
Tidak pernah kata Sadli. Hanya lewat telepon, Sekwan menyampaikan untuk tidak lagi membuat berita tidak bagus. “Sudah-sudah mi beritakan tidak bagus lah, selama ini di media, nanti istri kamu akan dipecat. Tolong jangan pecat istri saya, biarkan saya secara profesional,” kata Sadli.
Hakim juga mengatakan ada upaya melalui Ketua DPRD Buteng, Adam. Sadli mengatakan Ketua DPRD Buteng menyampaikan jika masih terus menulis berita begitu, istrimu tidak bisa kerja lagi.
“Antara saudara dengan Sekwan dan Ketua DPRD Buteng mengajak saudara untuk bertemu Bupati Buteng.” Sadli mengakui, tetapi ia tidak mau kalau ke rumah bupati.
“Secara detail tidak terkait itu (diselesaikan secara kekeluargaan, red),” kata Sadli. “Tapi secara tersirat jelas antara Sekwan dan Ketua DPRD Buteng,” celah hakim.
Hakim bertanya, “Apakah ada ajakan dari Ketua DPRD atau Sekwan kepada saudara untuk bicara soal berita?” Sadli menjawab “Ada.”
Sadli menjelaskan ia tidak memenuhi ajakan itu, dia menginginkan konfensi pers. Menurut Sadli, nanti akan disampaikan soal konferensi pers.
“Apakah keinginan konferensi pers itu disampaikan?” tanya hakim kepada Sadli. “Wallahualam,” jawab Sadli. (Bersambung)