Terbalik di Laut, Mendayung Enam Tahun Lamanya Untuk Sebuah Harapan

1971
Drs Rahmat Tuta MSi

Habis Sulit Datanglah Bahagia

“MARI masuk silahkan duduk,” ujar Rahmat Tuta dengan ramah kepada Tribun Buton (tribunbuton.com) di ruang kerja Asisten I Sekretariat Daerah Kota Baubau. Asisten I ini masih berseragam lengkap, dia Plt Kasat Pol PP Kota Baubau, tampak gagah.

Oleh: Putra & Yuhandri Hardiman

DISIPLIN dalam berkarya, demikian motto dan prinsip hidup Drs Rahmat Tuta MSi. Pria kelahiran Pulau Makasar (Puma) 29 September 1965 ini memiliki lika-liku perjalanan panjang dalam meniti kehidupan.

Tidaklah seseorang mendapatkan cobaan kecuali bertambah kuat jiwanya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dialami Ucla (sapaan Rahmat Tuta). Terlahir sebagai orang biasa, tidak membuat anak dari pasangan La Tuta dan Siti Aminah ini surut dalam menggantungkan cita-citanya setinggi langit.

Sejak menempuh pendidikan di SD 1 Puma, Ucla sudah terbiasa hidup sederhana. Setamat SD ia melanjutkan ke SMPN 1 Baubau pada tahun 1978, semangatnya untuk terus sekolah dan lanjut ke jenjang lebih tinggi semakin diuji.

Ucla kecil harus menyeberangi laut dengan mendayung sampan (baca: koli-koli) Puma-Baubau PP setiap hari. Setibanya di Pelabuhan Murhum pun dia masih harus berjalan kaki lagi ke SMPN 1 Baubau, (kini di belakang RS Siloam).

Rahmat Tuta lulus SMP tahun 1981 dan melanjutkan ke SMAN 1 Baubau, selesai tahun 1984. Terhitung enam tahun dia bolak-balik Baubau-Puma untuk datang sekolah dengan mendayung sampan.

Ucla dan teman-teman seusianya di SMP 1 Baubau, mulai mendayung dari Puma pukul 06.00 Wita dengan waktu tempuh 45 menit. Begitu juga pulangnya kembali mendayung. Hal ini ia lakukan selama enam tahun, tak perduli hujan, badai, atau cuaca buruk. Di kepalanya, ia harus masuk sekolah dan kelak menjadi orang yang berguna bagi daerah, bangsa dan negara.

“Kalau cuaca buruk sampan kita terbalik,” kata penyuka Indomi siram ini, mengenang masa lalu yang sulit.

Tak terlupakan masa-masa itu, tiga kali mengalami sampan terbalik. “Pakaian seragam kita, sepatu dan alat tulis kita sudah kantongi memang supaya tidak basah,” ujarnya.

Ke sekolah dengan mendayung sampan rasanya berat apalagi dari Puma ke Baubau setiap hari, banyak yang akan menyerah dan terseleksi dengan sendirinya.  Tetapi Rahmat Tuta bisa melakukan Teluk Baubau dan menundukkan jarak yang harus dilewati dengan mendayung bolak-balik setiap hari selama enam tahun tanpa menyerah. Kondisi ini tidak menyurutkan semangatnya untuk meraih cita-cita.

Penyuka warna putih ini, akhirnya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di Makassar Sulawesi Selatan. Ia tercatat sebagai mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas), jurusan Administrasi Negara dan mendapat gelar sarjana tahun 1989. Ia kembali melanjutkan magisternya (S2) di Unhas mengambil jurusan Sosial Politik Pengembangan Wilayah tahun 2006.

Suami dari dr Nur Aini Jawa ini memulai karir pekerjaan sebagai staf di Kantor Kecamatan Lasalimu, menjadi Sekcam, kemuddian menjadi Camat Lasalimu selama dua tahun. Setelah itu Rahmat Tuta menjadi KTU di Satpol PP di Kabupaten Buton.

“Pemekaran pertama di Baubau saya kembali menjadi kepala seksi di BAPEDA,” katanya.

Di Baubau, Rahmat Tuta pernah menjabat sebagai Sekertaris Dinas Pendapatan, Camat Kokalukuna, Inspektorat Irbang Ekonomi Pembangunan, Camat Kokalukuna kembali, Sekertaris Dinas Sosial, Kabag Pemerintahan, Staff Ahli Bidang Pemerintah Poltik dan Hukum, Kasat Pol PP, kini sebagai Asisten I bidang Pemerintahan rangkap PLt Kasat Pol PP.

Rahmat tuta dan istrinya dr Nur Aini Jawa dikaruniai tiga orang anak dari buah cintanya. Anak pertama bernama Rany Mei Riska Nur Indah Sari, sedang kuliah di Kedokteran Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Anak kedua bernama Syafran Naufal Fadhil Dwi Putra, kuliah di Farmasi UNHAS Makassar, dan yang ketiga bernama Trini Nurul Zakia, sedang duduk di bangku SMPN 1 BAUBAU.

Rahmat Tuta sekeluarga kini tinggal di Jalan Bhakti Abri No.2, Kelurahan Bukit Wolio Indah, Kecamatan Wolio, Kota Baubau. Buah dari kerasnya perjuangan kini telah dipetik, di balik kesulitan datanglah kemudahan atau meminjam judul karya RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Sekaligus sebuah peribahasa yang mengungkapkan suatu hukum alam bahwa setiap manusia akan mengalami masa-masa sulit tetapi juga akan merasakan masa-masa membahagiakan.(*)