GmnI Minta 13 Warga Lawele Dibebaskan dan Kapolres Buton Dicopot

1135

BAUBAU, TRIBUN BUTON
Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GmnI) Kota Baubau menyatakan sikap: Menuntut pertanggung jawaban pihak Polres Buton atas penangkapan terhadap 13 Warga Desa Lawele. GmnI Baubau menilai, tindakan penangkapan terhadap 13 warga Desa Lawele melanggar hak-hak kemanusiaan dan hak warga Negara.

Meminta Kapolri untuk segera mencopot Kapolres Buton. Sebab insiden yang terjadi di Desa Lawele, merupakan bentuk kegagalan Polres Buton dalam memastikan keamanan ditengah-tengah masyarakat.

Pernyataan sikap GmnI Baubau ini menyusul hasil investigasi yang dilakukan GmnI Baubau. Ditemukan, insiden yang terjadi di Desa Lawele didasarkan pada permintaan masyarakat untuk melanjutkan rangkaian Acara Pesta Adat. Namun, pihak Kepolisian setempat tidak mengindahkan permintaan tersebut.

Pernyataan sikap GmnI Baubau ini diungkapkan Wakabid Agipro DPC GmnI Baubau Risman. GmnI Baubau melakukan investigasi langsung, bersumber dari warga Desa Lawele. Pada 20 Oktober 2018 Pukul 16.00 Wita diadakan apel siaga (sekitar 100 personil dikerahkan untuk melakukan pengamanan) oleh Polres Buton. Ini membuat suasana mencekam disekitar lokasi Pesta Adat, yang seyogyanya akan dilaksanakan pada malam hari.

Acara Adat dilaksanakan Pukul 18.30 Wita sampai dengan Pukul 22.30 Wita. Sesuai jadwal, biasanya acara dilanjutkan dengan hiburan malam masyarakat setempat. Namun, acara hiburan malam tersebut tidak dilaksanakan, karena pihak Kepolisian tidak memberikan izin, dengan alasan keamanan.

Lanjut Risman menguraikan, malam itu pihak Panitia dan Pemuda setempat (Desa Lawele) berkoordinasi dengan Kapolsek Lasalimu, meminta agar diberikan izin melanjutkan acara hiburan malam.Sekitar Pukul 01.00 Wita (21 Oktober 2018), ditengah proses koordinasi yang dilakukan Panitia acara bersama Pemuda Desa Lawele, tiba-tiba terjadi penembakan gas air mata.

Parahnya kata Risman, gas air mata ditembakan dengan tidak beraturan, hingga masuk kedalam rumah-rumah warga. Penembakan gas air mata inilah yang kemudian memicu emosi warga setempat, dan terjadilah pelemparan kearah pihak Kepolisian. Sampai memukul mundur pihak Kepolisian.

Ditengah amarah yang tak terkendali kepada pihak Kepolisian, terjadi pembakaran kendaraan Kepolisian.

Saat ini kata Risman, 13 warga yang diduga melakukan pengrusakan fasilitas Kepolisian telah diamankan. Kata Risman lagi, mereka mendapat perlakuan represif dari pihak Kepolisian.

Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Unismuh Buton ini menyebutkan, GmnI menilai, rangkaian kronologis terjadinya insiden di Desa Lawele, justru memperlihatkan ketidakmampuan pihak Kepolisian dalam menjaga ketertiban dan keamanan ditengah-tengah masyarakat.

“Polri harusnya menjaga, melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan menjadi pemicu, bahkan merepresif masyarakat,” tegas Risman.

Lebih lanjut Risman menuturkan,
73 Tahun Pancasila dinyatakan sebagai Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tragisnya, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab tidak sepenuhnya tercermin dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Prinsip ini menurutnya,seharusnya digunakan Pemerintah, terkhusus aparat Kepolisian dalam pengelolaan Negara. Dan dinikmati oleh warga Negara dimanapun berada.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab hanya sekedar hafalan tak bermakna bagi warga Negara, yang selama ini mengalami ketidak adilan dan perlakuan tidak manusiawi.

“Hal itulah yang dialami oleh 13 warga Lawele yg ditahan di Polres Buton. Ketidak-adilan, perlakuan yang tidak manusiawi, pelanggaran Hak Asasi Manusia, kekerasan, sampai kriminalisasi menghantui dan menyertai masyarakat Desa Lawele. Insiden Lawele adalah gambaran jelas ketidakmampuan Pemerintah untuk melindungi hak dan memenuhi keadilan sosial bagi seluruh warga Negara,” tegasnya. (Red)