Perduli Pelestarian Bahasa Tomia, Pensiunan PNS Susun Kamus Bahasa Tomia-Indonesia

439

WAKATOBI, TRIBUNBUTON.COM – Muh Guntur Dahlan, pensiunan PNS kelahiran Usuku 24 Februari 1954. Menyusun Kamus Bahasa Wakatobi Dialek Tomia–Indonesia yang dicetak pada tahun 2023. Usai pensiun pada 2012, ia meluangkan waktunya untuk melestarikan bahasa daerah yang kian tergerus zaman.

Selama kariernya, Guntur sapaan karib Guntur Dahlan pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton kurang lebih 16 tahun. Selain itu, pernah menjadi dosen dan dekan Fakultas Perikanan di Universitas Dayanu Iksanuddin Baubau.

Ia juga pernah mengikuti pelatihan pertanian di Filipina pada 1986 melalui program National Agriculture Extension Project (NAEP).
Di luar dunia birokrasi, Guntur aktif dalam organisasi keagamaan sebagai unsur ketua MUI selama satu dekade dan kini menjabat sebagai Dewan Pertimbangan MUI.

Pendidikan formalnya ia tempuh dari SD dan SMP di Usuku, lalu SMA di Baubau hingga menyelesaikan studi perikanan di Universitas Hasanuddin pada 1980. Kini di usia 71 tahun, ia tetap produktif dan konsisten dalam menjaga warisan bahasa leluhurnya.

Dengan ketekunan luar biasa, proses input dan edit dalam penyusunan kamus ini dikerjakan secara mandiri, termasuk mendesain sampul buku. Meski berasal dari generasi yang umumnya kurang akrab dengan teknologi, Guntur justru menunjukkan sebaliknya.

Ia mengaku bahwa sejak kuliah sudah memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap teknologi baru, termasuk aplikasi desain. “Di zaman saya aktif sebagai pegawai, saya di antara sedikit yang melek komputer,” ujarnya.

Bertempat tinggal di Tanah Abang, Kota Baubau, Guntur mendesain sampul kamus dengan ilustrasi perahu dan ombak, yang menurutnya menggambarkan latar belakang budaya masyarakat Tomia.

Proses penyusunan kamus ini memakan waktu tiga tahun, dimulai dari tahun 2019 hingga 2021, sebelum akhirnya dicetak pada tahun 2023. Kamus ini memiliki 413 halaman. Awalnya hanya terkumpul sekitar 5.000 kosakata, namun seiring waktu jumlah itu bertambah karena banyak orang yang turut menyumbangkan kosakata.

Bahkan hingga detik-detik pencetakan, masih ada kosakata tambahan yang masuk. Dalam tiga tahun, kamus ini berkembang hingga berisi lebih dari 6.500 kosakata bahasa Tomia.

Guntur mengakui bahwa masih banyak kosakata Tomia yang belum masuk, misalnya nama-nama tumbuhan yang dimasukkan hanyalah yang diketahuinya saat itu. Ia juga berencana menerbitkan edisi kedua yang memuat lebih banyak kosakata jika edisi pertama ini telah habis terjual. “Bahkan tidak lama setelah dijilid, sudah muncul lebih dari 200 kosakata baru,” tambahnya.

Ia menyampaikan bahwa dalam pembuatan kamus, “bahasa apa pun itu, setelah dicetak baru muncul ribuan kosakata baru.”
Kamus Bahasa Tomia ini merupakan karya pertama Guntur. Keberhasilan tersebut membuatnya terdorong untuk menciptakan karya lain, termasuk Kamus Bahasa Indonesia– Wakatobi Dialek Tomia dan berbagai buku tentang Tomia.

Kosakata dalam kamus ini dikumpulkan dari berbagai sumber terutama tim penyusun, dari Guntur sendiri, Subair menyumbang lebih dari 2.700 kosakata, dan La Ode Djafar ahli bahasa Tomia yang membantu menerjemahkan kosakata Tomia klasik (lama).

Sebanyak 500 eksemplar kamus telah dicetak, dan sekitar 200 di antaranya telah terjual hingga saat ini. Tanpa donatur, Guntur rela mengeluarkan dana pribadi demi menerbitkan kamus ini. Untuk menekan biaya produksi, ia mendirikan percetakan sendiri bernama CV. Pasikamba Grafika.

“Saya sudah tekad kuat dalam hati, bagaimanapun juga kamus ini harus terbit. Walaupun harus pakai biaya pribadi, saya sudah tidak pikir untung rugi,” tegasnya.

Di rumahnya, ia menyediakan ruang kerja khusus dengan komputer untuk menyusun kamus. Ia menyisihkan waktu minimal setengah jam setiap hari untuk mengetik. “Di rumah ada ruangan kecil khusus untuk saya mengerjakan kamus. Tiap hari saya luangkan waktu menulis di ruang itu. Kalau saya lelah, saya istirahat juga di situ. Bangun tidur, kalau ada kosakata baru, saya langsung tulis,” tuturnya.

Menurut Guntur, untuk mulai menguasai bahasa apapun terutama bahasa daerah, seseorang cukup menghafal antara 100 hingga 150 kosakata. Tujuan utama penyusunan kamus ini adalah untuk pelestarian bahasa Tomia. “Karena jumlah penutur bahasa Tomia semakin menurun persentasenya,” katanya.

Motivasi dalam menyusun kamus ini muncul dari dalam dirinya sendiri serta dukungan berbagai pihak. Upayanya ini mendapat apresiasi dari tokoh Tomia seperti Hugua, Ketua Kerukunan Masyarakat Perantau Tomia (KMPT), komunitas perantau lainnya serta berbagai kalangan masyarakat Tomia.

“Semoga dengan diterbitkannya kamus ini dapat menangkal laju penurunan jumlah penutur bahasa daerah yang semakin tergerus oleh massifnya pemakaian bahasa nasional dan internasional dewasa ini. Diharapkan juga menjadi jawaban di tengah kekhawatiran akan musnahnya bahasa Wakatobi, khususnya dialek Tomia,” harap Guntur.

Ia menjelaskan bahwa tanpa upaya serius, bahasa Tomia bisa punah dalam waktu 10 hingga 20 tahun ke depan. Generasi muda semakin jarang menggunakan bahasa ini, dan banyak kosakata asli mulai tergantikan oleh Bahasa Indonesia.

Misalnya, kata “mata losa” telah berubah menjadi “kacamata”, dan kata “baru” dalam bahasa Tomia adalah “fo’ou” yang kini hanya digunakan untuk menyebut pengantin baru, banyak kata yang mengalami pergeseran makna.

Guntur menyoroti bahwa di perantauan, pasangan sesama Tomia sering kali gagal mewariskan bahasa daerah kepada anak-anak mereka. Apalagi bila pasangannya berasal dari suku lain.

Ia mencontohkan dirinya sendiri: karena istrinya berasal dari Makassar, anaknya tidak menguasai kedua bahasa daerah tersebut. Bahkan menjadi fenomena baru di pulau Tomia, saat ini bahkan dikampung sendiri sesama pasangan Tomia pun banyak yang tidak berhasil mewariskan bahasa itu ke anak-anaknya.

Menurut UNESCO, sebuah bahasa bisa lestari jika memiliki tiga hal: penutur aktif, sistem aksara, dan kamus. “Ini yang sedang saya lakukan sekarang,” ungkap Guntur.

Ia juga menyayangkan minimnya dukungan pemerintah terhadap pelestarian bahasa daerah. Ia berharap adanya Peraturan Daerah (Perda) yang dapat memperkuat posisi bahasa daerah. “Kamus saja belum cukup.

Harus ada gerakan lanjutan seperti penerbitan buku cerita dalam bahasa Tomia atau memasukkan bahasa daerah ke sekolah. Bahasa Tomia ini penting, minimal pernah ada. Percuma ada kamus jika tidak dipraktikkan,” tegasnya.

Kamus ini juga dilengkapi gambar, agar masyarakat Tomia diperantauan dapat bernostalgia dan menjadi pengobat rindu terhadap kampung halaman ungkap Guntur.
Gagasan penyusunan kamus ini mulai berkembang sejak tahun 2016 di grup WhatsApp “Usuku Se-Nusantara”, yang merupakan grup diskusi warga Tomia perantauan pertama di dunia maya.

“Anggotanya banyak. Yang menarik, setiap percakapan di grup ini wajib menggunakan bahasa Tomia,” ujar Guntur.

Dari situ, muncul ide dari Dr. Jalaludin Siali, M.Pd. (La Jala) yang mengusulkan agar kata-kata klasik yang sudah jarang digunakan dikumpulkan menjadi kamus. “Mungkin karena postingan saya banyak menggunakan bahasa Tomia klasik, beliau mengusulkan agar kata-kata yang terdengar aneh bin asing itu dikumpulkan menjadi kamus,” jelas Guntur.

Diskusi mengenai kelestarian bahasa Tomia kemudian berlanjut ke grup-grup Tomia lain, hingga puncaknya Guntur kemudian berinisiatif mengundang anggota grup Tomia Baubau untuk rapat membahas kamus. Namun, yang hadir saat itu hanya dirinya dan Pak Subair.

Ia lalu mengajak Pak La Ode Djafar, yang memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Tomia klasik. Ketiganya kemudian menjadi Tim dan sepakat untuk menyusun kamus.

Proses penyusunan mendapat sambutan hangat, semangat terbangun, dan pengumpulan kosakata dimulai. Hasilnya, kamus yang terjilid ini melebihi jumlah kosakata aktif yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari yang diperkirakan hanya sekitar 1500 kata.

Penyusunan kamus ini merupakan hasil gotong royong banyak pihak, mulai dari anggota grup Usuku Se-Nusantara, Kerukunan Masyarakat Perantau Tomia (KMPT), Kerukunan Keluarga Tomia Bersatu (KKTB), hingga komunitas Cinta Tanga Tomia.

“Kontribusi anggota grup sangat berharga meskipun mungkin hanya menyumbang satu kata atau sepenggal doa, tapi itu sangat berarti dan menjadi bagian dari penyusunan kamus ini,” kata Guntur.

Ia menambahkan bahwa seluruh warga Tomia yang pernah menggunakan bahasa daerah ini, baik secara lisan maupun tulisan, turut berperan.
Untuk wilayah Wakatobi (Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), baru Tomia yang memiliki kamus bahasa daerah.

Oleh karena itu, setelah terbitnya kamus ini, Pak Hugua berharap keberhasilan Kamus Bahasa Tomia dapat mendorong pulau-pulau lain untuk menyusun kamus serupa. Kedepan, diharapkan akan lahir kamus yang lebih komprehensif mengenai bahasa Wakatobi, mencakup seluruh dialek yang ada.

Laporan: Rial Hadi Rahmawan