
BUSEL, TRIBUNBUTON.COM
Persatuan Masyarakat dan Kelembagaan Adat Lapola menyatakan sikap menolak program Rehabilitasi Hutan dan Lingkungan (RHL) kawasan erkebunan masyarakat lapola Kel todombulu.
Berdasarkan surat kementrian lingkungan hidup dan kehutanan nomor: S.20/BPDASHL.SPR.3/1 2020 Tentang permohonan dukungan pelaksanaan RHL tahun 2021 di perkebunan masyarakat Lapola dan tanah ulayat (adat) Lapola, yang dikelola oleh salah satu pihak pengusaha (penyedia bibit tanaman berupa sengon, amahoni, jambu, dan kemiri. Isi surat dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa program ini, berdasar pada aspirasi masyarakat, akan tetapi masyarakat dan kelembagaan adat Lapola tidak pernah menyampaikan usulan seperti yang disampaikan dalam surat Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tokoh Pemuda Lapola, Rahmand Brahimd, mengatakan pihak penyedia (pengusaha) pernah melakukan rapat dengan masyarakat Lapola dihadiri 20 orang lebih pada saat rapat sosialisasi program tersebut di Kantor Kelurahan Todombulu. Akan tetapi masyarakat Lapola juga tidak pernah menerima dan memberikan dukungan dan kesepakatan kepada penyedia untuk masuk menanam.
“Karena pada saat rapat pertama, tidak ada pihak kehutanan yang berwenang untuk hadir untuk menjelaskan kepada masyarakat, kkemudian tidak pernah ada sosialisasi di masyarakat sesuai rapat tersebut. Anehnya lagi pihak pengusaha sebelum rapat dengan masyarakat Lapola pihak (pengusaha) penyedia bibit sudah mendahulukan bibit masuk di perkebunan masyarakat,
Rapat yang di hadiri masyarakat, pada rapat pertama juga bukan menjadi dasar pihak pengusaha untuk melakukan penanaman di area perkebunan masyarakat dan hutan ulayat adat lapola. Kemudian masyarakat Lapola mengatakan seharusnya pihak penyedia sebelum masuk menanam ke lokasi seharusnya mensosialisasikan kepada masyarakat Lapola. Apalagi persoalan ini masyarakat Lapola dan lembaga adat Lapola tidak tahu perusahaan mana yang menangkan tender karena di lokasi area proyek tidak ada papan proyek perusahaan tersebut,” jelasnya via rilis.
Menurut dia jika program RHL ini dipaksakan masuk di area perkebunan dan tanah ulayat (adat) Lapola, masyarakat akan melakukan pembubaran paksa. “Karena tanah ulayat (adat) harga mati, apalagi slogan Buton Selatan adalah Busel beradat yang menjadi nawacita perjuangan Bupati Buton Selatan,” jelasnya.
Berdasarkan rapat masyarakat hukum adat (MHA) Lapola pada Rabu 6 Maret 2021 menyatakan sikap:
1. Menolak pembibitan dan penanaman di area perkebunan dan tanah ulayat adat lapola
2. Meminta kepada pihak penyedia bibit(pengusaha) untuk memberhentikan kegaiatan penanaman di area perkebunan dan tanah ulayat lapola
3. Menolak invansi perluasan kehutanan yang ingin menjadikan perkebunan masyarakat lapola dan tanah ulayat lapola sebagai hutan lindung
4. Mengecam institusi kehutanan yang mengklaim perkebunan lapola dan tana ulayat lapla sebagai hutan lindung
5. Meminta pihak penyedia(pengusaha) dan kementrian lingkungan hidup dan kehutanan agar segera rapat bersama sama seluruh (MHA) lapola. (adm)