Dalam Bahasa Wakatobi berbasis Tomia, penggilingan jagung yang terbuat dari batu, dinamakan kagili’a. Dahulu di kampung, orang yang memilikinya menandakan bahwa orang tersebut terbilang mampu secara ekonomi.
Penggilingan ini tergolong berat. Butuh tenaga extra untuk memindahkannya. Ketika hendak menggunakannya, tetangga misalnya, berkunjung ke rumah pemiliknya.
Tergolong langka. Meski tak banyak, namu kerap terjadi antri. Dahulu, orang merasa bangga dan bahagia, ketika memiliki benda yang dapat berfungsi umum. Tidak berfikir ekonomis. Misalnya kemudian me-merental-kan.
Sejauh ini belum memperoleh informasi yang memadai di mana produsennya. Namun, alat pemecah biji jagung ini biasanya dibawah para pelayar Wakatobi dari Jawa Timur. Yang menarik, alat ini masih ditemukan dan digunakan dipedalaman Turky hingga sekarang.
Sebelum penggilingan, ini ada, di Tomia, penduduk setempat mengenal empat cara menanak Jagung.
Pertama dinamakan Kambose, yakni ditanak dengan air hingga masak. Di masak gelondong.
Kedua, Kapusu, yakni biji jagung dimasak dalam larutan kapur sirih. Setengan matang, nampak kulit arinya mengelupas, kemudian diangkat. Dibuang air kapur, lantas jagung dicuci-bilas dengan air bersih. Selanjutnya ditanak ulang hingga matang.
Masak Kapusu menarik karena biji jagung bersih, kulit arinya terkupas. Kuliner ini akan lebih menggiurkan ketika dimasak campur kacang merah.
Ketiga Tumbukkulamba, yakni Biji Jagung terlebih dahulu ditumbuk. Menggunakan Lesung Kayu. Ditumbuk hingga biji jagung bersih. Kemudian ditanak menggunakan Belanga yang terbuat dari tanah liat. Dalam Baahasa Wakatobi ragam Tomia dinamakan Kekeru.
Keempat Jabbari, Biji Jagung muda dilepeskan. Kemudian dimasak dengan air santan. Ketika matang nampak seperti masakan Ure. Hanya teksturnya beda. Masakan Jabbari, ini biasanya diadakan oleh muda mudi. Muda mudi yang lagi kasmaran.
Ure
Fungsi Penggilingan atau dalam bahasa lokal dinamakan Kagili’a adalah alat untuk
memecahkan jagung dalam ukuran mirip biji beras. Setelah digiling kemudian di tanak.
Kuliner ini dalam bahasa lokal dinamakan Ure. Masakan ini akan lebih nikmat ketika dimasak dengan santan kelapa.
Di Wolio, Buton, masakan jagung yang sama dengan Ure dinamakan Taingkora. Dimasak dengan menggunakan periuk yang terbuat dari kuningan. Dalam bahasa Wolio-Buton disebut Poluka Riti ( Poluka=Periuk dan Riti=Kuningan. Pengrajin lokal yang memproduksi berbagai perkakas dapur dari bahan kuningan terdapat di Kampung Lamangga-Pimpi Kota Baubau. Kepandaian menempa kuningan yang telah berlangsung ratusan tahun.
Dalam perkembangannya, Jagung Giling dapat dimasak campur beras dengan perbandingan 2/3 Jagung Giling dan 1/3 nya beras. Dinamakan Nasi Jagung. Namun menanak Jagung Giling dengan Beras butuh keterampilan dan ketelitian sehingga matangnya merata. Sebab jika tidak teliti, bisa terjadi berasnya matang tapi biji Jagung Gilingnya tak matang.
Kecuali Tumbukkulamba (Bassang-Makassar), yang hingga kini masih dikonsumsi masyarakat. Bahkan sudah menjadi kuliner yang mulai digemari wisatawan. Tiga kuliner lainnya, yakni Kambose, Ure, dan Jabbari mulai langka ditemukan.
Diantara ketiga jenis kuliner lokal terakhir, Masakan Ure, memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi Kuliner Khas Wakatobi. Pada gilirannya, orang akan mengenal Wakatobi dengan Kuliner Khas, yakni Tumbukkulamba (Saurondo-Wangiwangi), Kasoami, Kambalu, dan masak Ure (Hasirun Ady)