DALAM tradisi masyarakat Wakatobi berbasis Tomia, mengenal tiga jenis alat tangkap ikan tradisional, yakni: Kulu-Kulu, Kadhepe dan Polo. Polo (Bubu) ada dua macam. Bentuk anyamannya ( mata ) persegi lima dan persegi empat. Yang terakhir ini oleh masyarakar lokal menamakannya Kalapea.

HASIRUN ADY, WAKATOBI

KETIGA jenis alat tangkap, ini dibuat dari anyaman bambu. Tanaman bambu tumbuh subur di beberapa tempat di Tomia, seperti di Waondo,6 Soissi, Wakomba, Tondi, Kahianga dan Lagolle.

Alat tangkap Kulu-Kulu dan Kadhepe, hanya bisa menangkap ikan ikan ukuran kecil. Sementara alat tangkap Polo ( Bubu) dapat menangkap ikan yang sizenya besar. Kulu-Kulu dan Kadhepe digunakan ketika air surut.

Sedangkan alat tangkap Polo diletakan pada kedalaman. Supaya tidak terbawa arus dan tekanan gelombang, disekeliling Polo dipagari batu batu karang. Agar tidak mengapung di bagian atasnya (tindis) diletakan batu karang secukupnya.

Sejauh yang diamati, alat tangkap Kadhepe mulai jarang dipergunakan oleh kalangan masyarakat. Sementara, Kulu-Kulu dan Polo hingga sekarang masih digunakan. Karena memasang Polo ( Bubu ) berefek pada kerusakan terumbu karang, maka kini pemanfaatannya diawasi pihak berkompeten. Misalnya tidak berpindah pindah lokasi.

Sejalan dengan kearifan lokal yang dianut masyarakat, yakni : Ta’oma-memasang Polo secara menetap, tidak perpindah pindah. Sebuah kearifan menjaga kelestarian terumbu karang yang telah berlangsung ratusan tahun.

Aksesoris

Bentuk dan model anyaman ketiga jenis alat tangkap ikan tradisional tersebut menarik minat para pengelola hotel, resor, restoran dan warung makan. Anyaman Polo (Bubu), misalnya telah digunakan sebagai pengaman atap dari terpaan angin. Dijumpai beberapa resor di Tomia dan di Wangiwangi. Bahkan ada resor yang memasangkan plafon dari anyaman bambu dengan kualitas bagus yang indah dipandang. Alami!

Sementara anyaman Kulu Kulu, diubah fungsinya. Dibeberapa warung kopi di Wangiwangi, Ibukota Wakatobi, Kulu Kulu diubah menjadi cup hiasan lampu. Memancarkan cahaya remang. Menarik bagi pengunjung yang senang suasana natural.
Suasana yang menurut pengamatan banyak diminati wisatawan.

Meski belum massal, namun adanya minat para pengelola hotel dan restoran menggunakan produk dan kerjajinan lokal adalah peluang bagus untuk para pengrajin setempat. Mendorong pengrajin berproduksi dan berinovasi, tak hanya memberi pendapatan bagi kelangsungan hidup kelompok pengrajin. Namun dengan produksi yang beragam berkualitas turut menaikan pamor daerah.

Alasan klasik seperti tidak ada modal dan ke mana dipasarkan, sering terucapkan para pengrajin. Kondisi demikian, memaksa mereka hanya berproduksi jika ada pesanan ( by order). Suatu ketika mengunjungi dan ingin membeli jelaja pada pengrajin di Desa Kahianga, Tomia. Jelaja berkualitas untuk plafon hotel di Wangiwangi. Tidak ada yang siap ( stok ).

“Kami memproduksi berdasarkan pesanan. Karena kami tidak punya modal,” tutur sang pengrajin. Pengrajin ini memiliki keterampilan dan cita rasa seni tinggi. Berbagai model kerajinan dari bahan dasar bambu bisa dibuat. Indah dan cantik!

Bagaimana dengan bahan baku-bambu. Sejauh yang diamati pohon bambu tumbuh subur di tiga pulau di Wakatobi, seperti di Pulau Wangiwangi, Pulau Kakedupa dan Pulau Tomia. Menulis tema kerajinan di masa pandemi Covid-19, mungkin tak menarik. Karena produksinya tergolong kebutuhan sekunder. Dan bidang jasa ini yang banyak “mati” diera pandemi Covic19.

Meskipun demikian, kreatifitas pengrajin sepantasnya terus di dorong untuk menunjang sektor pariwisata daerah.
Bekerja di rumah-isi waktu luang dengan membuat kerajinan.(***)