BAUBAU, TRIBUN BUTON (Chy)
Selama periode januari-agustus 2019, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Baubau mencatat 38 kasus kekerasan telah terjadi terhadap perempuan dan anak di Kota Baubau sepanjang tahun 2019.
Hal itu disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Baubau, Wa Ode Soraya, SE. M.Si dalam sambutan singkatnya, pada giat sosialisasi yang diadakan DP3A, Senin (02/09/2019).
Berkaitan dengan data tersebut, Ibu Linda, salah satu Satgas PPA Kota Baubau angkat bicara mengenai jumlah kasus yang telah diekspose, menurutnya jumlah tersebut berdasarkan kalkulasi yang telah disinkronkan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan PPA, baik itu laporan masyarakat kepada DP3A langsung maupun laporan yang masuk pada lembaga kepolisian yang ada di wilayah Kota Baubau.
“Untuk data yang ada pada kami itu tentunya khusus kasus yang berhubungan dengan perempuan dan anak-anak di wilayah Kota Baubau. Untuk kasusnya sendiri itu beragam, yang paling banyak itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pencabulan anak di bawah umur.
Sebenarnya bisa dipahami kasusnya mungkin melebihi data yang ada pada kami diluar sana, Maka dari itu kami menghimbau kepada masyarakat agar jangan segan untuk meminta bantuan dan perlindungan dari pihak terkait untuk menyelesaikan konflik di masyarakat atau lingkup keluarga dengan cara melaporkan aktivitas yang merugikan bagi perempuan dan anak-anak,”terang linda.
Kegiatan yang melibatkan banyak pihak baik dari lingkup hukum, pendidikan dan komunitas itu juga menghadirkan narasumber dari Pusat Mediasi Jakarta, Ahmad Fahmi Shahab yang juga dikenal kompeten sebagai initiative task force general commercial and family issues.
Fahmi yang kompeten dalam mediasi dan penyelesaian konflik dalam penjabarannya menjelaskan bahwa kasus yang berkaitan dengan perempuan dan anak biasanya memerlukan mediasi yang apik dalam penyelesaiannya sehingga harus seksama memperhatikan aspek apa saja yang bisa menghasilkan kesepakatan bagi kedua belah pihak. “Mediasi ini banyak versi, tentunya difasilitasi oleh mediator yang kompeten di bidangnya dan tidak punya kepentingan pada masing-masing pihak.
Misalnya pada kasus perceraian proses mediasi itu tidak perlu harus ada kata rujuk. Bisa saja mediasi dilakukan untuk mencapai kesepakatan kedua belah pihak terhadap kepentingan anak-anak kedepannya,” “Ada satu hal yang tidak dapat dimediasi dalam kasus perempuan dan anak yaitu mediasi kasus kriminal pada perempuan dan anak, baik itu perkosaan, pencabulan bahkan pembunuhan.
Kalau proses mediasi ada maka tidak akan ada efek jera pada pelakunya. Ini yang harus dicamkan baik-baik. Bahkan sampai saat ini untuk konflik dalam rumah tangga saja kalau tidak ada mediasi itu akan merembet kepada pertumbuhan anak-anak baik itu di lingkungan pendidikan maupun kehidupan sosial anak,” “Satu kasus yang sering saya tangani itu jika soal perempuan dan anak, untuk jaman milenial ini orang masih tabu untuk mau mencari mediator dalam menyelesaikan konflik.
Tidak perlu malu atau tunggu masalah sudah berkarat/berlarut-larut untuk meminta bantuan dari lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah perempuan dan anak, disini kita sudah ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) melalui Satgas PPA, dan juga komunitas yang membela hak asasi wanita dan anak-anak.
Untuk keseluruhan lembaga ini harus bersinergi dalam menurunkan jumlah kekerasan pada perempuan dan anak dengan metode-metode yang telah dipelajari, kalau perlu jangan sungkan untuk bertemu psikolog maupun psikiater yang lebih privasi lagi, “tutupnya.