LA UBA AMG
KINI ia menjabat Lurah Lipu, Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara. La Uba AMg, pria kelahiran Katobengke 18 Maret 1968 ini menceritakan kisahnya saat naik pesawat, mesin mati lalu jatuh.
OLEH: HERLIN, BAUBAU
TRAGEDI kerusuhan menurutnya sangat mengerikan. Ia masih bisa menceritakan peristiwa itu secara detil. Dia berada di tengah pusaran pertikaian berdarah pada tahun 1999-2000.
Ia bersyukur masih diberi kesempatan hidup, padahal banyak nyawa melayang pada peristiwa ini. “Ini tidak bisa saya lupakan,” tuturnya. Ia meneteskan air mata mengingat kampung halaman, semoga tragedi itu tak terjadi di Tanah Buton.
Bapak empat anak ini diangkat menjadi PNS tahun 1984. Di awal pengabdiannya ia bertugas di daerah dengan medan berat, mulai dari jalan rusak parah sampai ditempatkan di perkampungan jauh dari akses kota. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Gizi pada Dinas Kesehatan Halmahera Tengah.
Suatu ketika, pria yang hobi makan kambuse ini menumpangi pesawat Merpati dalam penerbangan siang dari Ambon menuju Ternate tahun 1995. Ada rombongan dokter Unhas, Prof dr Razak Tahar, dr Dedi, dan dr Iksan.
Pada ketinggian 4000 kaki, tiba-tiba pesawat mati mesin dan jatuh. Kabin pesawat gelap tak ada cahaya, benar-benar kemelut dan menegangkan. Suasana menjadi hening tak ada suara kecuali pilot yang meminta seluruh penumpang untuk mengencangkan sabuk pengaman.
“Di situ saya paham bahwa mungkin sudah waktunya saya dipanggil (menemui ajal, red),” katanya. Tak terbayang sedikit pun soal anak dan istri, yang ia ingat hanya sang pencipta langit dan bumi Allah SWT.
Kedua kaki menjadi keram, jantung berdegup kencang. Badan terasa hilang setengah sampai tenggorokan terasa dingin, hanya Tuhan penentu jalan, mungkin saja nyawa sudah siap dijemput.
Pesawat terus jatuh menuju permukaan bumi dengan gaya terjun bebas selama kurang lebih 15 menit. Diperkirakan pesawat akan hancur berkeping-keping, gaya grafitasi bumi makin kuat menyedot badan pesawat.
Jarak badan pesawat sudah mendekati laut dan siap terbenam dalam terjun bebas itu. Tak ada bayangan selain kemungkinan besar seluruh isi pesawat akan berpindah alam.
“Alhamdulilah pesawat kami mesin tiba-tiba bisa menyala,” ujarnya dengan penuh syukur.
Allah Tuhan semesta alam masih memberinya umur. “Bahwa Tuhan belum memanggil kami,” ungkapnya yang nyaris terkubur di laut itu.
Lurah yang memiliki prinsip tidak membeda-bedakan orang dalam menjalankan tugas ini juga memiliki pengalaman manis saat bertugas di negeri orang. Kebiasaan masyarakat serta pegawai Halmahera Tengah sangat akrab dan ramah kepadanya dan keluarganya.
“Membuat saya rindu akan kebersamaan itu lagi,” kenangnya.
Banyaknya pengalaman yang ia lalui membuatnya matang dalam menghadapi setiap persoalan. “Setelah kembali di kampung halaman sendiri dalam bertugas, saya setiap menghadapi masalah saya anggap biasa-biasa saja, karena sudah banyak hal yang saya lalui” ungkap anak dari pasangan La Kauli dan Wa Mina ini.
Ia bertugas di Kota Baubau tanggal 28 November tahun 2003 ditempatkan di Dinas Kesehatan. Pada Mei 2004 ia pindah sebagai Tata Usaha di Puskesmas Kampeonaho. Tahun 2013 sebagai KTU Puskesmas Wanabakti. Delapan bulan kemudian ia bertugas sebagai TU di Puskesmas Katobengke lalu diangkat menjadi lurah pada tahun 2014 sampai sekarang.
Selama menjadi Lurah Lipu, kendala yang dihadapi sudah menjadi ringan dibanding berada di daerah timur. Permasalahan dimasyarakat Lipu hanya persoalan lahan dan tanah saja.
“Dan bagusnya karena kita di sini semua masih keluarga, permasalahan yang ada bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan secara kekeluargaan,” tutupnya.
Dia dan istrinya, Tiyma, dikaruniai emat orang anak. Di antaranya Nurbayanti atau Wa Dore (Kelahiran Tidore), Muhlisa, Ongen, dan yang bungsi Tamara.
La Uba menempuh pendidikan dasar di SD 1 Katobengke tahun 1980, SMP 3 Baubau tahun 1986, dan SMAN 3 Baubau tahun 1989. Dia lantas mengambil Jurusan Biologi FKIP Unpati, Ambon tahun 1990.(***)
Editor: Yuhandri Hardiman