Dari Dekat Persiapan Tari Sajo Moane Asal Pulau Tomia Menuju Istana Negara

1688

DULU hanya jadi tontonan masyarakat lokal pulau Tomia saat acara adat tertentu atau acara perayaan HUT RI. Terkadang juga, dijadikan tarian penjemputan manakala pejabat daerah menyambangi Pulau Tomia. Perlahan tapi pasti, Tari Sajo Moane menembus panggung nasional.

Rial Hadi Rahmawan/Duriani, Wakatobi

TARI Sajo Moane adalah tarian tradisional dari Pulau Tomia, Wakatobi. Biasanya, Tari Sajo Moane diperankan oleh 20 orang anak usia sekolah dasar.

Dimana “Sajo Moane” secara harfiah berarti tarian ketangkasan yang dilakukan oleh laki-laki dan juga dimaknai sebagai cara untuk “saling menyapa” atau “saling bertegur sapa”.

Mencerminkan semangat perjuangan kebersamaan dan persahabatan khas masyarakat Pulau Tomia. Karena konon dalam tradisi lisan masyarakat Tomia dulu sajo moane digunakan untuk menyambut orang-orang dari Sulawesi Selatan.

Secara keseluruhan, Tari Sajo Moane adalah tarian yang kaya dengan makna budaya dan sosial masyarakat Pulau Tomia.

Seiring perkembangan era digitalisasi, berbagai daerah di Indonesia mengeksplore kekayaan budaya dan adat istiadatnya untuk tujuan komersial. Begitu halnya di Kabupaten Wakatobi sebagai daerah pariwisata dan telah ditetapkan pemerintah sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).

Oleh pemerintah Kabupaten Wakatobi, Tari Sajo Moane asal Pulau Tomia menjadi salah satu tarian yang ditumbuh kembangkan. Seringkali tampil mengisi karnaval budaya baik dalam daerah Wakatobi hingga di luar Wakatobi.

Jauh sebelumnya atau sejak jaman orde baru, Tari Sajo Moane telah beberapa kali diundang dan tampil dalam pagelaran budaya tingkat nasional. Sebut saja, pagelaran budaya di Candi Borobudur, Festival Cirebon, perayaan HUT Taman Mini Indah (TMI) dan lain-lain.

Kini, Tari Sajo Moane kembali diundang untuk mengisi tampilan budaya saat upacara penurunan bendera merah putih pada HUT RI ke-80 di istana negara 17 Agustus 2025 nanti.

Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Wakatobi, Arif Rahmansyah, menjelaskan pihaknya mendapat undangan resmi Kementerian Pariwisata RI akhir Juli 2025. Dalam surat tersebut, menunjuk Wakatobi sebagai wakil Provinsi Sulawesi Tenggara untuk menampilkan Tari Sajo Moane di Istana Negara, dengan permintaan awal sebanyak 200 penari.

“Pemerintah Daerah hanya mampu memberangkatkan 70 orang dan usulan ini disetujui Kemenpar,” jelas Arif Rahmansyah.

Diakuinya jika persiapan untuk memenuhi undangan itu cukup singkat. Mulai dari proses seleksi di Pulau Tomia dengan melibatkan 100 anak usia Sekolah Dasar, sehingga terpilih 70 orang penari. Sebelum diberangkatkan menuju Kendari ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara, 70 penari yang telah terpilih itu menjalani gladi selama dua hari.

“Di Kendari, sejak 10 Agustus 2025. Para penari diikutkan latihan intensif di Gedung KONI. Mereka berkolaborasi dengan 45 penari kreasi Sanggar Natural Kendari binaan Dr Sukri, yang ditunjuk langsung Kemenpar untuk memoles koreografi versi kolosal Sajo Moane,” ucap Arif Rahmansyah.

Rombongan Tari Sajo Moane dijadwalkan berangkat ke Jakarta 13 Agustus 2025 sore. Di Jakarta nantinya, direncanakan penari Sajo Moane akan kembali melakukan gladi di lokasi pada 14 Agustus pagi sebelum tampil pada puncak peringatan kemerdekaan.

Terkait isu perubahan gerakan sebagai filosofi yang terkandung dalam Tari Sajo Moane dan sempat mencuat di masyarakat, Arif Rahmansyah mengungkapkan jika tampilan kali ini bukan Sajo Moane murni, melainkan kolaborasi.

“Kesepakatannya, selama gerakan asli, pakaian, kearifan lokal, dan nilai-nilai Sajo Moane tidak berubah, maka penyesuaian formasi diperbolehkan. Filosofi perjuangan tetap dipertahankan. Keaslian Sajo Moane tidak akan diubah untuk seterusnya. Hanya pada momen ini saja ditampilkan dalam bentuk kolosal dan kolaborasi,” tutur Arif Rahmansyah.

Bentuk kolosal dimaksud hanya berlaku pada momen peringatan kemerdekaan di Istana, sementara keaslian Sajo Moane akan tetap dijaga pada pementasan lain.

La Ode Abdul Hasan, sebagai penabuh gendang asal Desa Tiroau dan salah satu tokoh penting yang ikut mengiringi penampilan Tari Sajo Moane mengaku jika belajar Tari Sajo Moane sejak kelas V sekolah dasar.  Ia belajar dari seorang guru Tari Sajo Moane, La Ode Muslihi sekaligus pewaris tari Sajo Moane saat itu. Bahkan menurutnya saat masih aktif sebagai penari Sajo Moane, pernah tampil dalam Festival Tari Tradisional Indonesia 1985 di Yogyakarta.

“Sajo Moane itu persatuan dan perjuangan. Syairnya ada pengaruh bahasa Makassar, tapi sebagian sudah sulit dipahami generasi sekarang. Jumlah penari asli hanya 20 orang. Kostumnya tetap identik dengan warna merah, hitam, dan kuning, sama seperti sekarang,” terang La Ode Abdul Hasan.

Abdul Hasan, bersyukur atas perkembangan dan kelestarian tari Sajo Moane saat ini. Pada bulan November 2024, tarian Sajo Moane resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Bukan Benda Nasional, semakin mengukuhkan nilai sejarah yang sarat makna. Dalam setiap geraknya, terkandung unsur filosofi yang merefleksikan semangat perjuangan masyarakat pulau Tomia di masa lampau.

La Ode Bungane, pelatih sekaligus pendamping yang bertugas membetulkan gerakan dan syair mengungkapkan tarian Sajo Moane kerap diundang tampil di berbagai acara bergengsi. Di antaranya adalah HUT ke-23 Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1998 di Jakarta. Kala itu dihadiri langsung Presiden Soeharto.

Sebelumnya, pada tahun 1997, Sajo Moane juga pernah diundang tampil di Cirebon dalam Festival Keraton Nusantara II. Tarian ini juga pernah dipentaskan menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo di Wakatobi. (***)