Buka Monev Penataan Agraria Semester I 2025, Wamen ATR/BPN Tekankan Hal Ini

364

JAKARTA, TRIBUNBUTON.COM – Wakil Menteri (Wamen) Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ossy Dermawan, membuka kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Kegiatan Penataan Agraria Semester I Tahun Anggaran 2025, di Jakarta. Kamis 31 Juli 2025.

Ossy Dermawan, mengungkapkan dalam Reforma Agraria, Penataan Aset dan Penataan Akses menjadi satu kesatuan penting yang tak bisa dipisahkan.

“Penataan Aset, seperti legalisasi aset memberikan pengakuan (atas aset tanah), sedangkan Penataan Akses memberikan peluang (peningkatan ekonomi). Karena, tanpa penataan akses, masyarakat hanya akan memiliki sertipikat tanah, tapi tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya,” jelas Ossy Dermawan.

Terkait implementasi Penataan Akses berupa pemberdayaan lahan, Wamen ATR/BPN mengimbau jajaran agar menerapkan modell Penataan Akses yang sudah berjalan ke daerah lainnya. Ia mengingatkan, untuk tetap menerapkan sesuai karakteristik dan potensi tanah di masing-masing daerah.

“Terkait Penataan Akses, kita bisa mulai dengan menghubungi pihak terkait, apakah itu masyarakat adat, kemudian menghubungkannya dengan off-taker-nya, perusahaan. Seperti halnya Penataan Akses budidaya pisang cavendish di Jembrana, Bali. Kira-kira siapa dulu off-taker-nya? Apakah dia masih membutuhkan tanah? Coba dipertemukan, disurvei, ternyata cocok, bisa difasilitasi dengan masyarakat, akhirnya bisa terselenggara,” ucap Wamen Ossy.

Senada dengan Wamen ATR/BPN. Direktur Jenderal (Dirjen) Penataan Agraria, Yulia Jaya Nirmawati, menjelaskan bahwa kegiatan Penataan Akses memilih bisnis proses Model Closed Loop. Model ini menekankan bisnis proses berkelanjutan dari hulu ke hilir, dengan menerapkan kolaborasi lintas sektor yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Karena dengan Model Closed Loop ini mendapat jaminan dari proses, hingga produksi, sampai dengan pemasaran. Kalau kita tidak menghadirkan off-taker dalam kegiatan akses reform, pada saat panen nanti itu harganya bisa terjun bebas dan merugikan petani. Adanya off-taker menjadi jaminan agar hasil petani tidak jatuh ke tengkulak,” jelas Yulia Jaya Nirmawati. (Adm)