La Ode Muhaimin *)
KEPALA Daerah yang meninggal dunia digolongkan berhenti dari jabatannya, bukan berkategori diberhentikan dari jabatannya. Wakil Kepala Daerah akan mengisi jabatan Kepala Daerah dengan status Pelaksana Tugas (selanjutnya dalam tulisan ini menggunakan istilah: Plt karena sudah jamak diketahui publik. Meskipun dalam UU No. 30/2014 menyebutkan beberapa istilah, yakni a.n, u.b, m.m, dan m.t.) sampai dikukuhkan sebagai Kepala Daerah. Menjalankan mandat sebagai Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota sehari-hari berbeda kualitas tindakannya dengan pejabat defenitif (Gubernur/Bupati/Wali Kota).
(***)
PENULIS sengaja menulis judul hanya Kepala Daerah yang meninggal dunia saja agar tidak terlalu panjang. Karena sub berhenti bagi Kepala Daerah ada empat, yakni meninggal dunia/mengundurkan diri/berakhir masa jabatannya/tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan. Tetapi, fokus utama dalam tulisan ini ialah Kepala Daerah yang meninggal dunia dengan menyajikan yang lainnya sesuai konteksnya.
UU No. 23 Tahun 2014 maupun UU No. 10 Tahun 2016 tidak mencantumkan jangka waktu Plt menjalankan jabatan Kepala Daerah yang meninggal dunia. Tidak pula dirumuskan ketentuan, sampai berapa lama jabatan Plt dipangkunya. Dari sini, timbul pertanyaan. Dapatkah Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota ditangguhkan pengesahannya sebagai Gubernur/Bupati/Wali Kota? Dapatkah DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota mengganjalnya dengan tidak mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah yang berhenti karena meninggal dunia? Atau dapatkah Presiden tidak melantik Plt Gubernur sebagai Gubernur? Menteri Dalam Negeri tidak melantik Plt Bupati/Wali Kota sebagai Bupati/Wali Kota? Tulisan ini akan mengulasnya dalam tiga fase, yakni fase di DPRD, fase di Mendagri/Gubernur, dan fase melantik/tidak melantik.
Jabatan Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota
Sebagaimana sudah diketahui, beberapa Kepala Daerah berhenti dari jabataannya karena meninggal dunia, diantaranya ialah Wali Kota Bandung dan Wali Kota Baubau. Dua daerah ini, untuk sementara waktu jabatan Wali Kota dijabat oleh Wakil Wali Kota sebagai Plt. Hal ini dikarenakan Wali Kota meninggal dunia atau dengan kata lain pejabat defenitifnya berhalangan tetap.
Kewenangan yang dilimpahkan kepada Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota berjenis mandat yang berasal dari pejabat pemerintahan yang memberinya mandat (Presiden/Mendagri). Karena itu, kewenangannya tidak bersifat penuh. UU No. 30/2014 membatasinya dalam hal: tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek (i) organisasi; (ii) kepegawaian; dan (iii) alokasi anggaran. Ketiga aspek ini hanya bisa dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota defenitif.
Plt dalam tulisan ini harus dibedakan dengan Plt, Penjabat, Pjs (Penjabat Sementara) yang didefenisikan dalam Permendagri No. 120/2018. Karena hal-ikhwal Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota beranjak menjadi pejabat defenitif diatur dalam UU 10/2016. Dalam Permendagri, yang dimaksud Plt adalah pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap yang diangkat dengan keputusan gubernur atau keputusan bupati/wali kota dan berlaku paling lama 1 tahun.
Sedangkan Penjabat adalah pejabat sementara untuk jabatan gubernur, bupati/wali kota yang melaksanakan tugas pemerintahan pada daerah tertentu sampai dengan pelantikan pejabat definitif. Adapun Penjabat Sementara adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tugas gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota karena gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota cuti di luar tanggungan negara untuk melaksanakan kampanye gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. Maka, terlihat demarkasi antara Plt yang diatur dalam Permendagri dan Plt yang diatur dalam UU 10/2016.
Selama Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota menjalankan tugasnya, ia bertanggungjawab kepada pemberi mandat (mandans). Kalau Plt Gubernur (mandataris), mandansnya adalah Presiden, sedangkan Plt Bupati/Wali Kota (mandataris), mandansnya ialah Menteri Dalam Negeri. Kedudukannya sebagai mandataris (penerima mandat) tidak mengakibatkan jabatan Wakil Kepala Daerah menjadi hapus. Singkatnya, Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota bertindak sebagai Gubernur/Bupati/Wali Kota secara in acting. Berpegang pada konteks ini, tercipta jalan bagi mandans untuk mengambil alih tanggung jawab melaksanakan tugas sehari-hari Kepala Daerah dengan syarat dan ukuran tertentu namun berdimensi subyektif. Mengapa?
Bilamana Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota dalam mengemban tugas dan kewajibannya ternyata menimbulkan ketidakefektifan berdasar penilaian dari mandans, berakibat pada penarikan kembali mandat dari Plt. Konsekuensinya, Plt dikembalikan kepada jabatan semula, yakni Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota. Syarat dan kriteria ketidakefektifan sangat bergantung pada evaluasi dan penilaian yang dilakukan oleh mandans. Pada titik ini, agak sulit kiranya untuk menolak sisipan subyektifitas mandans terhadap mandataris. Peluang menarik kembali mandat semakin potensial terjadi jika terdapat perbedaan latar belakang Partai Politik antara mandans dan manadataris. Apalagi didorong dengan adanya hasil penilaian penyelenggaraan urusan pemerintahan yang tidak efektif.
Perbedaan dukungan/latar belakang Partai Poliitk antara Presiden/Mendagri (Pemerintah Pusat) dengan Gubernur/Bupati/Wali Kota (Pemerintah Daerah) dalam hal-hal tertentu dapat menjadi sumber konflik. Konflik dimaksud ialah konflik politi antar level pemerintahan bukan pribadi Presiden/Mendagri dengan Gubernur/Bupati/Wali Kota. Konflik semacam ini biasanya timbul dalam hubungan antara Pusat-Daerah dalam sistem negara kesatuan. Diungkapkan oleh Kenneth Newton dan Jan W. van Deth (2010), konflik Pusat-Daerah kemungkinan bertambah parah apabila pemerintahan daerah dikontrol oleh partai politik yang berbeda. Parpol pendukung Kepala Pemerintahan Daerah berbeda dengan Parpol pendukung Kepala Pemerintahan Pusat. Jadi, perbedaan Parpol antar dua pemerintahan dapat menginjeksi energi politik mandans (Presiden/Mendagri) mencabut mandat dari mandataris (Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota).
Selain itu, tidak ada penjelasan lanjutan tentang apa saja wujud dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak efektif tersebut. Apakah tidak tercapainya target yang ditetapkan dalam mandat atau munculnya konflik politik antara Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota dengan DPRD atau bergantung dari penilaian subyektif pemberi mandat, dll. Tentu semua faktor ini bukan sesuatu yang muskil atau bukan pula karena faktor-faktor tersebut. Wallahualam!
Mengikuti ulasan di atas, setidaknya diperoleh tiga pemahaman seputar Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota, yakni: (i) kewenangan Plt terbatas; (ii) ketiadaan jangka waktu memangku jabatannya; dan (iii) terbuka peluang mandans (Presiden/Menteri Dalam Negeri) menarik kembali mandat Plt. Konklusi dari tiga aspek ini, membuka kans penundaan pelantikan sebagai pejabat Gubernur/Bupati/Wali Kota defenitif.
Fase di DPRD
Kepala Daerah yang meninggal dunia akan diumumkan Pimpinan DPRD dalam rapat paripurna. Kemudian, menyampaikan usul pemberhentian kepada Presiden melalui Mendagri untuk Gubernur dan kepada Mendagri melalui Gubernur untuk Bupati/Wali Kota. Dalam sidang pleno yang diadakan tersebut, DPRD tidak mengambil keputusan pemberhentiaan Kepala Daerah yang meninggal dunia. Hal ini disebabkan (i) Kepala Daerah yang meninggal dunia spontan berhenti bukan diberhentikan karena sebab-sebab lain atau adanya putusan MA atau putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap; (ii) wewenang mengeluarkan keputusan pemberhentian berada di tangan Presiden/Mendagri.
Selain itu, DPRD tidak pula melahirkan keputusan pengusulan pengangkatan Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai pejabat defenitif kepada Presiden melalui Mendagri untuk Gubernur dan kepada Mendagri melalui Gubernur untuk Bupati/Wali Kota karena wewenang pengangkatan merupakan kaplingan Presiden/Mendagri. Termasuk Gubernur/Bupati/Wali Kota yang berhenti karena meninggal dunia/mengundurkan diri/berakhir masa jabatannya/tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan.
Karena sifatnya pengumuman bukan mengambil keputusan, maka tahapan di DPRD bukanlah fase pengganjal langkah Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt merenggut poisisi defenitifnya. Kecuali DPRD dipersyaratkan mengambil keputusan untuk membehentikan Kepala Daerah yang berhenti, berlakulah syarat pengambilan keputusan berdasar tata tertib DPRD. Maka, stadium di DPRD sekadar “ritual” semata agar Kepala Daerah yang berhenti diketahui dan diumumkan secara resmi oleh DPRD.
Kendatipun Pimpinan DPRD tidak mengumumkan dan tidak menyampikan usul pemberhentian Kepala Daerah yang meninggal dunia bukan juga sandungan. UU No. 23/2014 sudah menyediakan ketentuan antisipatif melalui pengambilalihan pengusulan oleh Mendagri untuk Gubernur dan Gubernur untuk Bupati/Wali Kota.
Lepas dari ketentuan yuridis tersebut, kapan waktunya Pimpinan DPRD mengumumkan dan mengusulkan? Dan kapan pula waktunya diambil alih? Terkait hal ini, tidak tersaji ketentuannya dalam UU No. 23/2014. Karena tidak tersuguh, maka kemungkinannya pada saat masa sidang DPRD. Di rentang waktu inilah diperkirakan pengambilalihan jika DPRD tidak mengumumkan dan mengusulkan pemberhentian.
Pasal 173 UU 10/2016 hanya mengatur pengusulan pengesahan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota. Dalam hal Gubernur/Bupati/Wali Kota meninggal dunia/mengundurkan diri/berakhir masa jabatannya/tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, DPRD tidak berwenang mengusulkan pengesahan pengangkatan Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota, kecuali Gubernur/Bupati/Wali Kota diberhentikan dengan dasar Putusan MA (vide Pasal 80 UU 23/2014), terbukti memalsukan dokumen pencalonan (vide Pasal 82 UU/23/2014), dan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana (vide Pasal 85 UU 23/2014). Atas dasar tiga hal ini, DPRD mengusulkan pengesahan pengangkatan Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Gubernur/Bupati/Wali Kota diberhentikan di tengah masa jabatannya dengan pijakan salah satu dari tiga alasan pemberhentian tersebut, digantikan sementara waktu oleh Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt. Penunjukan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt bukan berasal dari usulan DPRD tetapi oleh Presiden/Mendagri. Adapun usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt menjadi pejabat defenitif kepada Presiden/Mendagri berdasar usulan DPRD. Karena, pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota di tengah masa jabatannya berada dalam klaster kewenangan DPRD. Jangka waktu yang dibutuhkan telah dipatok selama 10 hari kerja terhitung sejak Gubernur/ Bupati/Wali Kota diberhentikan apabila DPRD tidak mengusulkan pemberhentiannya dan 5 hari kerja bagi Gubernur mengusulkan kepada Mendagri (vide Pasal 173 ayat (3), (5) dan (6) UU 10/2016) .
Sedangkan Gubernur/Bupati/Wali Kota yang berhenti karena meninggal dunia/atau mengundurkan diri/berakhir masa jabatannya/tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, bukanlah wewenang DPRD mengusulkan pengesahan pengangkatan Plt-nya. Sebagaimana disampaikan di atas, Pimpinan DPRD hanya mengumumkan Gubernur/Bupati/Wali Kota berhenti. Jadi, Pasal 173 UU 10/2016 baru dapat diberlakukan setelah keluarnya keputusan pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota dari Presiden/Mendagri. Atau dengan kata lain, UU 23/2014 mengatur pemberhentian, sementara UU 10/2016 mengatur pengusulan pengesahan Plt menjadi pejabat defenitif.
Mengenai surat kematian dalam Pasal 173 ayat (3) dan (7) UU 10/2016 sebagai dasar pengusulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota jika Gubernur/DPRD tidak mengajukan usulannya, bukan berhubungan atau bersangkut paut dengan pemberhentian melainkan usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota. Karena di ayat (2) dan ayat (4) menyebutkan penyampaikan usul DPRD dan ditegaskan lag pada ayat (6). Jadi, keseluruhan bunyi Pasal 173 UU 10/2016 berasosiasi dengan kewenangan DPRD dalam hal pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Gubernur/Bupati/Wali Kota yang berasal dari pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota yang diproses oleh DPRD.
Sedangkan pengusulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota dimana proses pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota berada dalam klaster kewenangan Presiden/Mendagri berikut penetapan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota, tidak merujuk pada Pasal 173 UU 10/2016. Sebab, domain pemberhentian dan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota sepenuhnya wewenang Presiden/Mendagri. Tidak ada keterlibatan DPRD atau usul dari DPRD dalam hal Gubernur/Bupati/Wali Kota dimakzulkan karena melanggar Pasal 68 atau Pasal 83 UU 23/2014.
Dengan demikian, keberadaan Surat kematian dalam Pasal 173 ayat (3) dan (7) UU 10/2016 sebagai dasar pengusulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota jika Gubernur/DPRD tidak mengajukan usulannya, menjadi rancu. Timbul kebingungan karena DPRD tidak berwenang mengusulkan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota yang berhenti karena meninggal dunia. Lain halnya kalau surat kematian dijadikan dasar usulan pemberhentian oleh DPRD, tetapi bukan dasar usulan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Fase Di Mendagri/Gubernur
Tangga kedua yang dilewati Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt menjadi pejabat defenitif berada pada Mendagri untuk Plt Gubernur dan Gubernur untuk Plt Bupati/Wali Kota. Kedua pejabat ini yang akan mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah karena meninggal dunia. Berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi Mendagri/Gubernur tidak pula ditentukan. Kondisi ini menambah panjang waktu tunggu Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota menyandang Garuda Satu di Daerah. Animo melakukan “atraksi” sebagai Gubernur/Bupati/Wali Kota pun tertahan.
Setelah terbitnya keputusan pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota dari Presiden/Mendagri karena meninggal dunia, maka Mendagri/Gubernur mengusulkan pengesahan pengangkatan Plt. Pasal 173 UU 10/2016 tidak menargetkan waktu seperti pengusulan pengangkatan dan pengesahan dalam klaster kewenangan DPRD. Dalam hal Gubernur/Bupati/Wali Kota berhenti, kewenangan DPRD berkisar mengumumkan saja dan mengusulkan pemberhentiannya.
Jika dicermati secara mendalam dan memperhatikan dengan saksama ketentuan Pasal 173 ayat (1) sampai dengan ayat (8) UU 10/2016, mengatur pengusulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt menjadi pejabat defenitif yang diberhentikan di tengah masa jabatannya diproses dalam klaster kewenangan DPRD. Setelah salinan putusan MA/pengadilan sudah in kracht van gewijsde kemudian DPRD mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden/Mendagri melalui Mendagri untuk Gubernur dan melalui Gubernur untuk Bupati/Wali Kota. Berlakulah ketentuan Pasal 173 UU 10/2016 dalam hal pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota.
Maksud dari pemberhentian yang diproses di DPRD adalah pemakzulan Gubernur/Bupati/Wali Kota dimana proses awalnya diininsiasi oleh DPRD. DPRD baru dapat mengusulkan pemberhentian dan mengusulkan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota setelah menerima salinan putusan dari MA (Pasal 80 UU 23/2014), atau terbukti memalsukan dokumen pencalonan (Pasal 82 UU/23/2014), atau putusan pengadilan karena
melakukan tindak pidana (Pasal 85 UU 23/2014). Sedangkan kewenangan DPRD. DPRD hanya mengumumkan dan mengusulkan, bukan mengambil keputusan pemberhentian dalam hal Gubernur/Bupati/Wali Kota yang berhenti di tengah masa jabatannya karena meninggal dunia/mengundurkan diri/tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan.
Adapun klaster kewenangan Presiden/mendagri dalam hal pemberhentian dan pembuatan keputusan pemberhentian meliputi Kepala Daerah yang (i) meninggal dunia; (ii) mengundurkan diri; (iii) berakhir masa jabatannya; (iv) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; (v) diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 78 ayat (2) UU 23/2014); (vi) melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (vide Pasal 83 UU 23/2014); dan (vii) tidak melaksanakan kebijakan strategis masional (vide Pasal 68 UU 23/2014).
Dari tujuh poin kewenangan Presiden/Mendagri tersebut, kewenangan DPRD hanya dipoin (i), (ii), (iii), dan (iv) dengan porsi mengumumkan saja bukan mengambil keputusan pemberhentian. Penjelasan Pasal 79 ayat (1) UU 23/2014 menyebutkan, yang dimaksud dengan “diumumkan oleh pimpinan DPRD” dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mengambil keputusan baik oleh pimpinan DPRD maupun oleh paripurna. Ini artinya, rapat paripurna DPRD dilarang mengambil keputusan pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota karena berhenti. Termasuk mengusulkan pengangkatan Plt-nya.
Dalam klaster kewenangan Presiden/mendagri yang meliputi kepala daerah yang (i) meninggal dunia; (ii) mengundurkan diri; (iii) berakhir masa jabatannya; (iv) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, berbeda-beda perlakuannya. Bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya, mustahil Mendagri/Gubernur tidak mengsulkan pemberhentiannya. Berlainan dengan ketiganya, potensi mengulurnya cukup terbuka.
Ketika fase pengusulan pemberhentian Kepala Daerah yang meninggal dunia/ mengundurkan diri/ tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, bergeser ke Mendagri/Gubernur, secara tekstual Pasal 79 UU 23/2014 memang sudah menyiasatinya. Tetapi, tidak ditentukan berapa lama waktunya Mendagri/Gubernur harus mengusulkan pemberhentiannya. Kendati tidak terdapat ruang bagi Mendagri/Gubernur untuk menghambatnya, tetapi celah masih dapat ditangkap, yakni menundanya. Sebab, tidak ditentukan durasi waktu usulan pemberhentian menetap di meja Mendagri/Gubernur untuk diteruskan. Penundaan pengusulan ini, tidak dapat dianggap remeh.
Meskipun UU 23/2014 menghidangkan resolusi kepada Presiden/Mendagri untuk menetapkan pemberhentian Kepala Daerah yang meninggal dunia/mengundurkan diri/tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan tanpa usulan dari Mendagri/Gubernur, belum sampai pada putaran final. Ibaranya, masih babak semi-final. Karena sikap mendiamkan ditambah dengan memanfaatkan kelonggaran Pasal 79 UU 23/2014 dapat dilakukan oleh Presiden/Mendagri.
Menghadirkan Pasal 173 UU 10/2016 untuk mengatasinya, justru timbul kekacauan. Karena Pasal 173 UU 10/2016 berlingkup pada pengajuan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota dalam ranah kewenangan DPRD sebagaimana disajikan di atas. Walaupun, dalam Pasal tersebut memuat ketentuan pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota yang berhenti (meninggal dunia/mengundurkan diri) dan diberhentikan, namun pada ayat (2) dan ayat (4) menjadi ayat kunci.
Karena norma yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) dan ayat (4) UU 10/2016 merumuskan pengusulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi Gubernur/Bupati/Wali Kota dari DPRD. Ini berarti, bertalian dengan proses pemberhentiannya yang diininsiasi oleh DPRD.
Pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (vide Pasal 83 UU 23/2014), atau tidak melaksanakan kebijakan strategis masional (vide Pasal 68 UU 23/2014), tidak terdapat keterlibatan DPRD atau diberhentikan tanpa usul DPRD. Termasuk pengusulan pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Gubernur/Bupati/Wali Kota, juga tanpa campur tangan DPRD.
Dengan demikian, Gubernur/Bupati/Wali Kota yang berhenti karena meninggal dunia masih dapat menjabat sepanjang Mendagri/Gubernur membiarkan usulan dari DPRD atau belum mengusulkan kepada Presiden/Mendagri. Dengan kata lain, Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota masih harus bersabar menanti usulan sampai kepada pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan pemberhentian. Ketiadaan jangka waktu pengusulan pemberhentian Kepala Daerah yang meninggal dunia menjadi sebab utama tersendatnya Wakil Kepala Daerah menduduki jabatan Kepala Daerah.
Fase Melantik atau Tidak Melantik
Ada tiga babak dalam pengangkatan Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota yang menjabat sebagai Plt menjadi pejabat defenitif. Pertama, diawali dengan pengusulan pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota yang meninggal dunia. Kedua, Presiden/Mendagri mengeluarkan keputusan pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota yang meninggal dunia. Ketiga, mengeluarkan keputusan pengangkatan dan melantik Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai pejabat defenitif. Dari tiga ronde ini, bahasan di bawah ini mengenai ronde ketiga.
Fenomena Presiden/Mendagri tidak melantik Gubernur/Bupati/Wali Kota di Indonesia pernah terjadi. Pada masa berlakunya UU 22/1999, usulan pemberhentian Wali Kota Padang Uyen Rais dan Wali Kota Bitung ditolak oleh Presiden. Pada masa berlakunya UU 23/2014 Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Talaud tidak dilantik oleh Gubernur Olly Dodonkambey. Namun sejauh ini belum ada Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota yang gagal dilantik sebagai pejabat defenitif karena Gubernur/Bupati/Wali Kota meninggal dunia. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan dapat saja terjadi karena sesuatu hal tertentu sehingga Presiden/Mendagri tidak melantik Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai pejabat defenitif.
Penolakan Presiden/Mendagri melantik Plt Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi pejabat defenitif dimungkinkan dalam perspektif negara kesatuan. Hal itu diakui oleh Bagir Manan (2005), bahwa Presiden/Mendagri memiliki hak tolak memberhentikan atau melantik Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Dampak penolakan kata Bagir Manan, hanyalah ketegangan hubungan antara Pusat-Daerah dan cideranya demokrasi. Tetapi tidak berefek secara politik kepada Presiden/Mendagri. Misalnya, Presiden dimakzulkan oleh DPR atau Mendagri dicopot dari jabatannya oleh Presiden.
Dengan demikian, kewenangan Presiden/Mendagri menerbitkan keputusan Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia dan mengangkat serta melantik Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Gubernur/Bupati/Wali Kota, lebih merupakan hak daripada kewajiban. Kalau disebut kewajiban, melekat di dalamnya implikasi politik ketika kewajiban tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditentukan. Namun karena bersifat hak, tidak ada dampak politik manakala tidak ditunaikan. Pun dapat dianggap, hak mengangkat/melantik adalah pilihan bagi Presiden/Mendagri dalam konteks negara kesatuan seperti di Indoensia.
Berdasar pada analisis di atas, maka dapat ditarik benang merahnya.
Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Plt dapat menduduki jabatan Gubernur/Bupati/Wali Kota apabila: (i) mandat sebagai Plt tidak ditarik kembali oleh pemberi mandat; (ii) DPRD, Gubernur, Mendagri tidak mengulur waktu pengusulan pemberhentian Gubernur/Bupati/Wali Kota yang meninggal dunia sampai habis masa jabatannya; dan (iii) Presiden/Mendagri tidak menolak melantik Wakil Gubernur/Bupati/Wali Kota sebagai Gubernur/Bupati/Wali Kota. (**)
*) Penulis: Pengajar HTN Unidayan Baubau.