MENGGERAKAN EKONOMI KREATIF

1790
Siswi SMP Negeri 3 Wangiwangi mengenakan rok/sarung tradisional corak leja.Dikenakan setiap hari Kamis.Foto:Hasirun Ady

Ada teman di Asosiasi Tradisi Lisan ( ATL) Jakarta. Saya dan kawan kawan menyapanya Ibu Sri. Mengenalnya, ketika memproses penyelenggaraan perhelatan pertemuan ATL tingkat Internasional di Wakatobi.

Kegiatan yang awal melambungkan nama Wakatobi di dunia, ini diselenggarakan akhir Desember 2007 yang lalu. Meski dengan berbagai keterbatasan sarana prasana. Namun banyak kalangan menilai kegiatan sukses. Kegiatan yang berdampak panjang.

Yang mengagumkan dari Ibu Sri adalah ketelatenannya menggunakan Rok-Span kain batik sehari-hari. Baik tampil di daerah Jawa ( Jakarta). Maupun di daerah lain. Ia tampak anggun dan berkarakter, menggunakan rok batik warna coklat dipadu model kebaya warna laksana warna kopi susu. Kebaya dimodifikasi. Nampak luwes, ketika tubuh beraktifitas.

Menurut informasi yang diperoleh kain batik, mulai populer pada tahun 1972.
Awalnya kain batik digunakan di lokal.
Sekarang pakaian dari kain Batik menjadi pakaian bergengsi. Haraganyapun mencapai jutaan rupiah.

Bagaimana dengan tenunan kain lokal?
Mulai menggembirakan. Kreatifitas masyarakat menunjukan, mereka mencintai dan melestratrikan budaya warisan leluhurnya. Yang membanggakan para pegawai kantor mengenakan baju bernuansa daerah. Ini dikenakan pada hari hari tertentu.

Demikian pula para kepala sekolah sudah kreatif. Para siswanya dianjurkan untuk mengenakan tenunan daerah pada hari hari tertentu pula. Dalam berbagai pagelaran seni, adat dan budaya, pemeran dan pendukung acara diwajibkan mengenakan pakaian bernuansa kain tenunan lokal.

Meski belum begitu signifikan, namun anjuran untuk mengenakan kain tenunan khas daerah, menurut hemat penulis akan menggerakan ekonomi kreatif. Pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbayang efek ekonomi tatkala semua tingkatan sekolah dianjurkan memiliki dan mengenakan kain khas daerah.

Sejauh yang diamati, penggunaan kain khas daerah di Wakatobi sudah berlangsung lama.
Paling tidak dapat diamati dari ketika Ir. Hugua, menjabat Bupati Wakatobi. Selain mengangkat dan mempopulerakan kuliner lokal, ia memberdayakan lembaga dan tokoh tokoh adat.

Bupati yang merangsang semangat rakyatnya dengan Visi “Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segi Tiga Karang Dunia”, ini menjabat bupati Wakatobi selama dua periode ( 2006-2011 dan 2011-2016 )
Selama sewindu membangun Wakatobi, menaruh perhatian terhadap kearifan, adat budaya warisan Kesultanan Buton, ragam Wakatobi.

Yang belum nampak adalah kreatifitas kalangan ibu ibu ASN. Umumnya masih menggunakan kain tenunan untuk baju. Masih jarang yang memodifikasi. Misalnya membut rok span dipadu dengan model kebaya modifikasi. Seperti yang pernah penulis saksikan, yakni yang dikenakan sehari hari oleh Ibu Sri.

Mengenakan pakaian nuansa daerah, selain
melestaritakan warisan leluhur, juga mendorong kreatifitas dan meningkatan perekonomian rakyat. Pada titik ini kebijakan diperlukan supaya para pengrajin-penenun tetap fokus dan setia berkarya.

Mengapresiasi kreatifitas guru guru SMP 3 Wangiwangi Selatan, Wakatobi.
Menganjurkan murid muridnya, setiap hari Kamis mengenakan rok tenunan khas lokal, yakni corak Leja. Corak Leja, khusus dikenakan kaum perempuan ( lihat gambar )

Di masa Pandemi Covid-19 usaha usaha ekonomi kreatif mengalami penurunan penjualan hingga 90 prosen. Meskipun demikian, barangkali para penentu kebijakan di daerah diharap tetap mendorong para pengrajin untuk terus memproduksi. Harapannya, ketika Covid-19 sudah mereda tetap tersedia produk (Hasirun Ady)