OLURI, TAHAPAN TENUN SARUNG TRADISIONAL

5076
Anggota kelompok pengrajin tenunan sarung tradional ketika proses-kegiatan OLURI/Foto: Hasirun Ady/tribunbuton.com

Sebelum benang diproduksi secara besar- besaran, para pengrajin tenunan tradisional, memintal sendiri benang. Benang dipintal dari buah kapas pilihan (baca: fadaru, ragam bahasa Tomia).

Dalam proses pembuatan sarung tenunan tradisional, dikenal beberapa tahapan, yakni, menggiling, memintal, mewarnai, menggulung, oluri dan menenun (homoru-bahasa lokal. Dalam tisan ini hanya menguraikan proses Oluri.

Tahapan ini menarik dan mengesankan selain tahapan menenun. Para pengrajin menyelingi kegiatan dengan melantunkan syair-lagu-pantun. Sysir-lagu pantun bertajuk percintaan dan nasehat hidup dan kehidupam

Oluri, tahapan merangkai helai demi helai benang. Dalam tahapan ini dibutuhkan ketelitian, ketekunan dan ketabahan. Sebab kesempurnaan tenunan sarung ditentukan dari kerapihan kegiatan OLURI.

Biasanya, untuk meredakan ketegangan dalam tahapan yang butuh konsentrasi tinggi, ini mereka mendendangkan syair lagu atau berpantun. Syair lagu yang didendangkan biasanya bernada pujian atau rindu terhadap kekasih atau pasangan.

Tema tema syair lagu berhubungan dengan tradisi masyarakat Kepulauan Wakatobi, yakni pelayar, pedagang, dan suka merantau. Berikut Syair lagu yang umum didendangkan,
ketika melakukan kegiatan, yakni :

Ku rodhako iluhalluha dhi bomba bhara tokallobu ( Ku ingat kau saat teduh tatkala gelombang khawatir tenggelam)

Lasajandi bhara u meri, misiti tammojari’i
(Wahai sang kekasih, jangan khawatir pasti kita jadian)

Ara tamenangka’e nahadha mallingu pulo teng kaburi ( Jika nafsu diturutkan tiap pulo dapat jodoh)

Tatkala asyik masyuk, mereka secara spontan melahirkan syair dan lagu. Ketika syair lagu menyentuh perasaan, misalnya syair lagu putus tunangan, tak kurang dari mereka menetesa air-haru.

Ketika dalam proses Oluri, ini dilakukan kalangan ibu ibu, maka isi syair dan lagu bertema nasehat dan puji pujian kepada sang Khalik.

Terlepas dari jodoh, dahulu keterampilan memasak dan menenun adalah alasan utama pertimbangan sang jejaka dan keluarga melabuhkan hatinya terhadap sang gadis.

Dahulu masih dujumpai puluhan pengrajin dalam satu kampung (desa). Karena tenunan adalah sumber mata pencaharian.

Sebelum alat tukar rupiah lancar seperti sekarang, masyarakat melakukan barter sarung dengan kopra dan rempah rempah atau kebutuhan pokok sehari hari.

Seiring dengan perkembangan peradaban, maka pengrajin tenunan tradisional semakin langka. Kebutuhan sandang begitu mudah diperoleh. Produksi begitu melimpah. Bahkan kadang kita miliki baju tapi tak sempat memakainya.

Keberadaan pengrajin terus berkurang. Di Onemai, Kecamatan Tomia, Wakatobi, misalnya, sejauh diamati yang masih bertahan adalah Pengrajin “AMNAENI”

Kelompok ini masih setia melestarikan dan membuat Sarung Tradisonal. Meski musiman pembelinya, namun dari kegiatan ini menghasilkan pendapatan untuk menunjang kebutuhan hidup se-hari hari.

Kebijakan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, mengajurkan staf menggunakan seragam sentuhan tenunan khas daerah, ikut memperlancar penjulan kelompok ini.

Kendala utama, dan ini secara klasik dikeluhkan para pengrajin, ialah masalah permodalan. Dengan omzet penjualan yang “musiman”, ketika meminjam dana pakai bunga, agaknya mereka merasakan beban.

Sebagai kegiatan-usaha sekunder, pengrajin paling merasakan dampak dari Pamdemi Covid-19. Sejauh yang diamati pendapatan mereka menurun hingga 90 prosen. Ibu Filma, misalnya, pimpinan Sanggar Natural Wangiangi Selatan dan memiliki gerai kerajinan lokal Wakatobi merasakan dampak pamdemi tersebut. Sebelum pandemi Covid-19, penari Kenta-Kenta era tujuhpulan, ini masih bisa memperoleh uang hingga 4 juta perbulan. ” Sejak Pamdemi Corona penjualan menurun drastis. Sembilan puluh prosen penurunannya” ujar Filma.

Mungkin oleh pemangku kebijakan memikirkan skema kredit tanpa bunga?
Skema ini diberikan kepada semua pengrajin untuk menggairahkan kegiatan ekonomi kreatif pada masa mews normal
(Hasirun Ady)