Oleh : Fadil Aulia
BEBERAPA waktu belakangan, kalangan masyarakat hukum Indonesia dihebohkan dengan pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Menko Marves dalam suatu kesempatan menyampaikan bahwa “kinerja KPK tidak boleh hanya dilihat dari jumlah orang yang ditangkap. Dia mengatakan strategi pemberantasan korupsi yang hanya berfokus pada penindakan dengan menangkapi orang adalah strategi kampungan”.
Pernyataan singkat yang dilontarkan Menko Marves tersebut menimbulkan banyak respon dari kalangan pemerhati hukum di Indonesia. Mulai dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Indonesia Memanggil Lima Puluh Tujuh Intitute (IM57+ Institute) hingga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
YLBHI, ICW, MAKI hingga IM57+ Institute satu suara menyatakan bahwa pernyataan Menko Marves tersebut adalah keliru dan menyesatkan. Ketua YLBHI menyatakan bahwa pernyataan a quo menunjukkan rendahnya komitmen pejabat publik dan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Bahkan dalam kesempatan lain ICW menyarankan kepada Menko Marves tersebut untuk lebih giat membaca literatur mengenai pemberantasan korupsi, karena penindakan terhadap kasus korupsi tetap harus dilakukan beriringan dengan upaya-upaya pencegahan.
Berbeda halnya YLBHI, ICW, MAKI dan IM57+ Institute, Mahfud MD membenarkan apa yang disampaikan oleh Menko Marves tersebut. Mahfud MD mengatakan “Pak Luhut benar, sebaiknya tak banyak OTT. Tapi dengan syarat yakni sistem pencegahan yang efektif. Sebelum ada pencegahan yang efektif maka OTT masih diperlukan”.
Penanggulangan Tindak Pidana
Permasalahan krusial dari pernyataan yang dilontarkan oleh Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan ialah persoalan penanggulangan tindak pidana dalam hal ini tindak pidana korupsi.
Pada dasarnya, berbicara mengenai penanggulangan tindak pidana maka kita berbicara mengenai Kebijakan Kriminal/Politik Kriminal. Kebijakan kriminal berbicara mengenai upaya apa yang bisa dilakukan/ditempuh untuk menanggulangi tindak pidana.
Gerardus Petrus Hoefnagels seorang Ahli Pidana berkebangsaan Belanda mengatakan bahwa, terdapat tiga cara atau upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana. Tiga cara tersebut bisa digunakan untuk menanggulangi tindak pidana apapun itu.
Pertama, penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan hukum pidana (criminal law application). Kedua, penanggulangan tindak pidana dengan mencegah tanpa mempidana (prevention without punishment).
Ketiga, Penanggulangan tindak pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai sanksi melalui media masa (Influencing views of society on crime and punishment by mass media).
Barda Nawawi Arief, seorang Ahli Pidana Indonesia dengan merujuk kepada pendapat Gerardus Petrus Hoefnagels, menyimpulkan bahwa untuk menanggulangi tindak pidana dapat dilakukan melalui dua sarana. Pertama, menanggulangi tindak pidana bisa dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana atau disebut penal policy (Kebijakan Penal). Kedua, menanggulangi tindak pidana bisa dilakukan dengan menggunakan sarana bukan hukum pidana atau disebut non penal policy (Kebijakan Non Penal).
Kebijakan Penal
Penanggulangan tindak pidana menggunakan sarana hukum pidana berarti bahwa hukum pidana yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan di aplikasikan terhadap tindak pidana yang terjadi (criminal law application).
Untuk menanggulangi tindak pidana narkotika maka dilakukan dengan menggunakan Undang-Undang Narkotika. Ketika ingin menanggulangi tindak pidana korupsi maka dilakukan dengan menggunakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Disini tindak pidananya sudah terjadi, sifatnya represif.
Titik fokus penanggulangan tindak pidana menggunakan sarana hukum pidana ini pada pemberantasan, penindakan dan penegakan hukum.
Upaya-upaya yang diatur dalam hukum pidana diaplikasikan agar tindak pidana yang terjadi tidak terulang kembali, baik oleh pihak yang melakukan maupun oleh pihak lainnya. Operasi Tangkap Tangan, pemberian sanksi yang berat, pemberian rehabilitasi merupakan bentuk-bentuk daripada sarana penanggulangan tindak pidana menggunakan hukum pidana.
Kebijakan Non Penal
Penanggulangan tindak pidana menggunakan sarana bukan hukum pidana dimaksudkan untuk mencegah supaya tindak pidana tidak terjadi. Artinya titik fokus sarana ini ialah preventif, jadi tindak pidananya belum terjadi. Misalnya ketika berbicara mengenai penanggulangan tindak pidana narkotika menggunakan sarana non penal maka berbicara mengenai upaya-upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah supaya tidak terjadi tindak pidana narkotika.
Penanggulangan tindak pidana menggunakan sarana non penal ini sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana (Kriminogen). Upaya pencegahan baru bisa dilakukan apabila sudah mengetahui faktor penyebab terjadinya suatu tindak pidana. Ada banyak faktor penyebab terjadinya tindak pidana.
Tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lainnya akan mempunyai faktor penyebab yang berbeda-beda. Faktor penyebab tindak pidana narkotika akan berbeda dengan tindak pidana korupsi. Sehingga cabang ilmu diluar hukum pidana sangat diperlukan untuk menanggulangi tindak pidana dengan menggunakan sarana non penal ini.
Dua sarana penanggulangan tindak pidana diatas pada dasarnya mempunyai karakteristik yang sangat berbeda. Sarana penal berlandaskan kepada hukum pidana yang ada, sedangkan sarana non penal berlandaskan kepada cabang ilmu diluar hukum pidana. Sarana penal titik fokusnya pada tindak pidana yang telah terjadi dan berupaya supaya tindak pidana tersebut tidak terjadi lagi, sedangkan sarana non penal titik fokusnya pada tindak pidana yang belum terjadi dan mencegah agar tidak terjadi tindak pidana.
Kedua sarana penanggulangan tindak pidana tersebut pada dasarnya mempunyai sisi positifnya masing-masing dan bersifat saling melengkapi bukan saling meniadakan. Ketika sarana non penal belum mampu mencegah terjadinya tindak pidana, maka sarana penal akan memainkan fungsinya untuk menindak tindak pidana yang terjadi agar dikemudian hari tindak pidana tersebut tidak terulang kembali.
Pernyataan Menko Marves bahwa “strategi pemberantasan korupsi yang hanya berfokus pada penindakan dengan menangkapi orang adalah strategi kampungan” tentunya kurang tepat. Selama penanggulangan tindak pidana korupsi menggunakan sarana non penal (pencegahan) belum bisa berjalan dengan baik, maka penanggulangan tindak pidana menggunakan sarana penal dengan melakukan penindakan/penangkapan harus tetap dilakukan, bahkan harus diperkuat.
Karena jika harus menunggu sarana non penal (pencegahan) berjalan baik untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, maka korupsi akan merajalela. Melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, bahkan dengan melakukan OTT merupakan cara yang bisa dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi sambil menunggu sarana non penal bisa berfungsi dengan baik.
Namun, disisi lain terlepas dari benar dan salahnya, tepat dan kurang tepatnya pernyataan Menko Marves, tentunya hal tersebut harus menjadi catatan penting bagi pengambil kebijakan untuk mulai melirik dan memfungsikan sarana non penal dalam penanggulangan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi. Sejatinya memang sarana non penal sedikit terlupakan dalam upaya penanggulangan tindak pidana di Indonesia.
Penulis: Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada dan Pemerhati Hukum Pidana (***)