Oleh: Muh Sutri Mansyah *)
Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan bukti kepemilikan tanah yang secara hukum dianggap sah dan menempati kasta tertinggi dimata hukum serta memiliki kekuatan hukum yang kuat dibanding dengan sertifikat-sertifikat lainnya, bahwa secara administrasi SHM merupakan salah satu bentuk surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat individual, konkret dan final, sehingga menimbulkan akibat hukum.
Namun dengan berjalannya waktu, ternyata terdapat masalah didalammnya yaitu terjadi kepemilikan SHM yang tumpah tindih atau overlapping. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada ketidakjelasannya
siapa yang berhak melakukan pengelolaan atas tanah tersebut, meskipun masingmasing orang telah memiliki SHM dan jelas siapa nama pemilik sahnya sesuai dalam
sertifikat, tapi kemudian masing-masing pemilik SHM tidak akan secara bersama sama mengelola tanah dan salah satu pihak tidak serta merta memberikan begitu saja, karena masing-masing pihak secara hukum masih memiliki hak yang sama dan apabila tidak menemukan penyelesaian atas tumpah tindih tersebut, maka akan terjadi sengketa.
Tentunya kita tidak menginginkan penyelesaian secara adu fisik atau
melegitimasi pemberlakuan hukum rimba. Menurut data Lembaga Bantuan Hukum Amanah Keadilan pada bulan Oktober 2020, mencatat SHM yang terjadi tumpang tindih sebanyak 18 SHM.
Untuk mencegah penyelesaian secara fisik, maka penyelesaian sengketa
tumpang tindih SHM sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, kita akan merujuk pada dua aturan. Pertama, Undang-Undang Nomor 31 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adminitrasi Pemerintahan) dan kedua, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN).
Seringkali upaya pertama yang ditempuh langsung mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menemukan berbagai referensi artikel ilmiah malah memberikan rekomendasi penyelesaian SHM langsung ke PTUN, memang benar PTUN menjadi salah satu lembaga yang diberikan kewenangan untuk menyelesaiakan
sengketa tumpah tindih SHM.
Namun kemudian setelah terbitlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuah Upaya Administrasi, sehingga dengan terbitnya PERMA tersebut mengubah proses penyelesaian sengketa yang tadinya langsung mengajukan kepada PTUN dan sekarang harus terlebih dahulu
mengajukan Upaya Administratif.
Upaya administratif diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan, Upaya
Adminitratif adalah proses penyelesian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan adminitrasi pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan dan atau tindakan
yang dikeluarkan oleh Pejabat Pemerintahan yang merugikan warga masyarakat. Apa akibatnya jika langsung mengajukan sengketea SHM kepada PTUN, maka pasti akan ditolak oleh Hakim pada tahap dismissal atau pemeriksaan berkas perkara sebelum
disidangkan oleh majelis hakim dan akan direkomendasikan menyelesaikan sengketa SHM melalui upaya administratif terlebih dahulu.
Upaya adminitratif melalui beberapa tahapan (lihat pasal 75), pertama tahap pengajuan keberatan atas terjadinya tumpah tindih SHM kepada Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan SHM tersebut, kedua apabila kurang puas atas keputusannya atau belum menemukan penyelesaian, maka dapat mengajukan banding kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat (KAKANWIL), Apabila semua tahapan telah dilewati dan masih keberatan atas putusan banding, maka baru dapat mengajukan sengekata SHM ke PTUN.
Jika diamati penyelesaian sengketa SHM cukup panjang dan memakan banyak waktu, menurut pengamatan penulis dilapangan mengapa bisa terjadi tumpah tindih SHM karena lembaga yang mengeluarkan SHM belum memiliki sistem rekaman data
SHM yang baik dan acapakali alasan itu yang terlontar dari mulut mereka, sehingga solusinya adalah BPN melakukan re-evaluasi setiap SHM ; melakukan indentifikasi SHM yang mana saja yang terjadi tumpah tindih ; BPN melakukan check and re-check berdasarkan prinsip kehati-hatian ; apabila ditemukan SHM yang tumpang tindih maka BPN harus cepat memanggil para pihak yang memiliki
SHM tumpah tindih untuk segera menyelesaikan,
BPN harus megetahui,
memahami, dan menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui upaya administratif, dan yang terpenting BPN harus berani memberikan putusan dan mengakui kesahalan jika memang terbukti bahwa terjadi tumpang tindih karena pada hakekatnya SHM merupakan surat keputusan yang dikeluarkan Pejabat Tata Usaha Negara/ BPN yang seharusnya bertanggung jawab atas akibat hukum yang akan
terjadi. Sehingga SHM yang diterbitkan dikemudian hari tidak terjadi permasalahan hukum seperti tumpang tindih SHM dan asal mencaplok tanah orang dengan dalih telah memiliki SHM.
(***)
*) Penulis adalah Pemerhati Hukum, Konsultan Hukum OnCom.id & @msmconsultant