
Tujuh Jam Menyusuri Hutan Masuk Dari Lawana Wasuamba
KARENA Oputa Yi Koo pernah bergerilya di puncak Siontapina, sehingga menjadi alasan ritual Siontapina digelar setiap tahun. Di ketiggian kira-kira 700 meter dari permukaan air, tempat ini berupa puncak tertingi di tengah hutan di Pulau Buton.
Yuhandri Hardiman, Buton.
Ada tiga pintu masuk, Lawana Kamaru, Lawana Lawele dan Lawana Wolowa. Kami masuk dari jalur Wa Suamba dengan waktu tempuh tujuh jam perjalanan dengan medan kebanyakan menanjak.

Agak berbeda dengan kunjungan saya tahun 2012, semua warga berjalan kaki. Kini tak sedikit yang menggunakan kendaraan roda dua.
Saya dengan Andy Lopez, Caleb, dan Paipa memilih jalan kaki. Untuk mengurangi beban, logistik bawaan kami seperti beras dan makanan lainnya kami sewakan ojek sampai ke spot rambi-rambi.
Dalam perjalanan beberapa kali harus istirahat. Rasa letih dan energi terkuras luar biasa, sampai-sampai dari kepala sampai kaki, baju dan celana basah oleh keringat.
Kendaraan roda dua rata-rata hanya sampai di titik rambi-rambi. Pendakian yang cukup extrim setelah rambi-rambi menanjak terjal. Dari titik ini Puncak siontapina ditempuh hampir satu jam.
Sampailah pada gerbang Keraton Siontapina. Dari tempat ini alas kaki sudah harus dilepas, wajib memakai sarung dan kopiah. Suasana berubah dengan satu ciri khas rata-rata bersarung.
Berkumpul di bawah pohon menikmati kopi sambil menunggu ritual adat. Di tepi jurang di halaman makam Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yi Koo/Lakarambau) menjadi spot yang menarik.
Dari sini lembah yang dalam bisa dinikmati. Selain itu jaringan internet di titik ini agak bagus.
Malam tiba, melantai di bawah pohon atau di bawah kolong rumah menggunakan tikar. Tidur di tengah keramaian ada keseruan tersendiri.
Ketika awan mulai terbuka, hujan tak deras. Waktu menunjukan pukul 20.33 Wita. Alat musik gong dan gendang ditabuh.
Suara musik tradisional itu memecah malam dintengah gunung. Inilah tradisi yang diturunkan sejak masa Sultan Himayatuddin hidup dan bergerilya di hutan melawan penjajah Belanda.
Mata dan pendengaran mengarah ke musik tradisional itu. Suasana kemeriahan malam pada zamannya mulai tergambar malam ini.
Musik tradisional sudah berlangsung sekira 30 menit. Para wanita terbapanggil dan mendekati tempat adegan musik gong.
Tarian digelar seper empat malam, sorak sorai muda-mudi memacu kegembiraan. Gerakan gemulai pasangan laki-laki dan wanita menari berputar khas tari ngibi yang memperlihatkan keanggunannya.
Pukulan gendang dan gong berubah dari energik ke lambat. Seperti pukulan bunyi jam tempo dulu, irama ini benar-benar romantis. Hingga seper dua malam, penari berganti dari remaja ke penari tua-tua.
Suasana hening di ketinggian Siontapina, perpaduan musik yang ditabuh dengan irama satu-satu dengan ritme lambat. Sambil memejamkan mata membuai malam.
Bunyi Gong dan Gendang Memecah Pagi, Membersihkan Benteng
Instrumen musik itu kembali dibunyikan di kala matahari merangkak naik dan menembus sela pepohonan. Semua lelaki dan wanita bersarung bertelanjang kaki.
Menunggu di bawah pohon damar di samping makam Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa Yi Koo/La Karambau). Suasana masa lalu dihadirkan, terasa Sultan Buton akan datang.
Waktu menunjukan pukul 08.56 Wita, genderang dan gong belum berhenti. Para gadis remaja dipimpin wanita tua berpakaian adat serba hijau masuk dari arah utara dan selatan lalu membuat dua barisan menghadap ke barat.
Masing-masing barisan diiringi gendang dan gong mengitari gunung. Pada saat ini ritual pembersihan dilakukan pada dua makam tua dan tempat mandi.
Kini menunjukkam pukul 10.39 Wita, alat musik gong dibunyikan sudah tiga jam lamanya. Kini tampak bersih, semua bekerja bakti membersihkan gunung.
Pembersihan gunung disebut posamburea, kegiatan ini dilakukan di hari pertama, ditandai dengan pakaian serba hijau, semua pengunjung gunung berpakaian hijau.
Persiapan lain dilakukan seperti mengumpulkan bambu. Bambu-bambu ini dibuatkan altar di dekat makam Oputa Yi Koo, sedangkan masyarakat lainnya mencari bambu untuk persiapan membuat nasi bambu.
Mandi di Sungai Kalata
Sudah dua hari tidak mandi dan sudah saatnya untuk mandi, badan sudah tidak terasa pegal lagi setelah perjalanan kemarin. Kami memilih mandi di Sungai Kalata menurni limbah dan hutan punggung kuda (jalur yang di kiri kanannya jurang).
Kalata berjarak kira-kira 3km dari Puncak Siontapiba melewati Lawana La Wele. Perjalanan kebanyakan menurun melewati hutan dengan pepohonan besar dan tinggi. Waktu tempuh 35 menit.
Bebatuan di Siontapina seperti dicetak. Ada yang berbentuk pilar memanjang dan ada bebatuan kecil membentuk segi empat kecil mirip batako dan bulatan seperti pafing block.
Bebatuan padat ada juga yang mirip batu kali, seperti padatan pasir dan semen. Tetapi semakin mendekati kali, bebatuan serupa semakin hitam pekat. Bebatuan itu mirip aspal kering.
Sampai di Kalata, air sungai agak kering. Onggokan batu dasar kali hitam sehitam aspal dan bentukan kolam-kolam kecil.
Air sungai mengalir seadanya. Musim kemarau dan sesekali turun hujan belum bisa mengisi sungai.
Seperti sesuatu yang dirindukan, kami segera melepas baju lalu mandi. Tahun 2012 saya pernah ke tempat ini, airnya agak dingin meski kami datang jam 2 siang.
Di sungai kami memasak mi soto lalu minum kopi. Seduhan kopi di tengah sungai ada rasa yang berbeda. Bunyi gesekan air yang sedikit itu seperti bunyi air yang jatuh di kolam dari ujung bambu.
Selesai mandi kami bergegas kembali ke Gunung Siontapina dengan waktu tempuh 45 menit. Karena mendaki kami kembali berkeringat. Sebelum masuk gunung kami istrahat di Lawana La Wele.
Memasuki Gunung Siontapina tetap memakai sarung, kopiah dan tidak boleh memakai sendal. Tanah yang becek sudah menjadi hal biasa setelah dua hari berada di gunung ini.
Alat musik tradisional kembali dimainkan. Muda-mudi kembali menari bergantian semalam suntuk. Saya menikmatinya dari bawah kolong rumah.
Bunyi gong dan gendang berubah warna musik. Ditabuh dengan nada lambat. Serasa kita sedang dibuai.
Hari Berbaju Putih, Ketangkasan
Masih di Bawah Pohon Damar di puncak Siontapina di samping Makam Opita Yi Koo. Genderang dan gong sudah dibunyikan sejak pukul 07.00 Wita.
Kini pukul 10.00 Wita. Orang-orang bermunculan dengan wajah segar dari Lawana Kamaru. Mereka baru saja mandi di sungai dan mata air di sekitar Gunung Siontapina.
Mereka pergi berbaju hijau dan kembali berbaju putih. Sudah menjadi ketentuan adat untuk berbaju putih di hari kedua.
Genderang dan gong ditabuh lebih energik. Semua berkumpul dititik tempat pelaksanaan tari ngibi di hadapan pemuka adat.
Parang dan tameng sudah diletakkan di dekat pohon beringin. Lalu panglima perang memakai baju kebesaran dan menuju pohon beringin lalu melagkah ke makam Oputa Yi Koo.
Sekembalinya dari makam dia beradu dengan puluhan pria. Hal serupa dilakukan oleh empat panglima perang.
Setelah ini dilakukan silat atau manca. Keahlian bela diri harus dimiliki oleh prajurit Oputa Yi Koo.
Serba Kuning Berkumpul di Pelataran Makam
Kamis 15 Oktober 2020, pagi tampak cerah. Gong dan gendang kembali ditabuh. Tak lama kemudian barisan serba kuning dan berpayung diputar mengarak sekelompok orang menuju pelataran makam Oputa Yi Koo.
Semua orang berkumpul di tempat ini dan mendengarkan penyampaian panglima perang yang tegas. Sebuah altar sudah disiapkan shari sebelumnya dengan balutan warna putih, hijau, dan kuning.
Para lelaki bersila membelakangi matahari terbit sedangkan wanita bersila melingkari altat. Tabuhan gendang dan pukulan gong belum berhenti sampai panglima menyampaikan petuahnya.
Para pengawal berpakaian serba hitam dan berkacamata riben mengawal pertemuan itu. Di pelataran makam Oputa Yi Koo semua berpakaian serba kuning dan bersila mendengarkan petuah dengan seksama yang disampaikan menggunakan bahasa Wolio (bahasa kenegaraan pada masa Kesultanan Buton sedang berjaya).
Warna kuning berkesan ramah dan hangat, ini adalah warna terakhir yang dipakai sepanjang ritual di Gunung Siontapina. Seperti hijaunya daun dan sucinya hati dan matangnya jiwa, ritual ini akan terus berlangsung setiap tahun mengenang kepahlawanan Oputa Yi Koo. (*)