
- Kalau Lawan Penguasa, Bagaimana Cara Kerja Jurnalis?
Ketua Majelis Hakim, Subai SH MH, bertanya kepada Winarto, Ahli Dewan Pers (DP) pada sidang kasus M Sadli, Kamis 13 Maret 2020. “Kalau melawan penguasa, bagaimana cara kerja jurnalis mendapatkan fakta?”
YUHANDRI HARDIMAN, PASARWAJO
“Tentu saja harus mengacu pada kodeetik,” jawab Winarto. Bukan hanya penguasa, tetapi kepada masyarakat pun, kritik harus berdasarkan pada data dan fakta. Ada proses ferivikasi, konfirmasi pihak yang dikritik dan pada siapa pun yang dikritik, berita harus balance, kroscek jangan sampai hanya dapat informasi sepihak.
Pengalaman Dewan Pers, pernahkah ada kasus yang ditangani yang muatannya penghinaan, kemudkan bapak sebgai ahli? “Tidak pernah,” singkat Winarto.
Subai menghentikan pertanyaannya dan mempersilahkan hakim anggota Basrin SH. Basrin mulai bertanya kepada Ahli Dewan Pers, Winarto. Pernahkah alami ada wartawan menulis berita penghinaan dan dilaporkan?
“Kalau di bagian pengaduan saya tidak. Mungkin di bidang lain,” jelas Winarto.
Terkait pendataan pers, apakah seluruh personil? Dalam peraturan standar Dewan Pers, Perusahaan Pers harus berbadan hukum, memiliki penanggung jawab wartawan utama, sampai pada kesejahteraan pun ditanyakan. Apakah gaji wartawan sesua UMK? 13 kali gaji per tahun? Dan apakah status wartawan yang tercatat sudah lulus kompetensi?
Hakim bertanya lagi soal status wartawan. Apakah kalau sekiranya ternyata belum kompetensi, apa penyebutan dia?
Jadi begini, timpal Winarto. Ada yang harus dipahami soal wartawan profesional dan wartawan umum. Misalnya kompetensinya sudah profesional, tetapi yang belum kompetensi belumu tentu tidak prifesional.
“Karena lembaga uji kesempatan untuk ikut komoetensi terbatas,” jelasnya.
Winarto mengatakan UKW di sini (Baubau, red) baru satu kali digelar. Sedangkan ada sekian wartawan yang belum punya kompetensi, tetapi yang dilihat adalah karya jurnalisnya.
Hakim: Soal wartawan profesolional dan tidak, apakah sama atau beda hak dan kewajibannya?
“Kewajibannya sama karena harus ikut kodeetik,” ujar Winarto.
Apakah haknya sama? Contoh ada wartawan belum ikut kompetensi, pandangan saudara sebagai ahli, apakah sama atau tidak dengan yang sudah kompeten?
Menurut Winarto, DP tidak melihat wartawan dalam konteks itu. Yang dilihat adalah prosedur jurnalistik.
Gambarannya ada seseorang yang mengadukan diberitakan, prosesnya si pengadu menulis aduannya, apa berita aduannya dan keberatanx apa. Kemudian ambilkan bukti karya jurnalistiknya lalu Tim DP akan melihat (menilai, red) karya jurnalistiknya. Dan kalau karya jurnalistiknya tidak jelas maka ada proses klarifikasi.
Misalnya ada pengadu, “Apa keberatannya? kata Winarto. Apakah hak jawab sudah pernah diberikan? Hubungi medianya apakah kompetensi atau belum? Medianya seperti apa? Kenapa bisa seperti itu? Itu proses yang utuh.
“Oooh, berarti tidak dilihat dia sudah kompetensi, tetapi pada karyanya,” ujar hakim Basrin SH.
Kalau begitu tidak ada perbedaan. Hakim bertanya, seadndainya masyarakat awam yang menulis pemberitaan bersifat umum seperti di medsos.
“Yang penting bagi Dewan Pers adalah proses kerja media,” ujar Winarto. Internet mulai berkembang, orang dengan mudah menyebarkan informasi, mengupload foto dst. Ini adalah citizen journalism, dalam hal upload berita, DP akan melihat hal ini sebagai masalah pribadi, dst.
Hakim: Kembali pada pengertian wartawan. Bahwa citizen journalism (jurnalisme warga) mengimput berita tidak terus-menerus. Atau apakah citizen journalism?
Kata Winarto, citizen journalism itu spontan tidak profesional. Tetapi sejauh keahlianya itu faktual maka akan tetap dilindungi. Pengertian wartawan itu teratur, kalau citizen jurnalism bukan orangnya yang dilindungi tetapi karyanya.
Konsentrasi DP pada konten. Ada wartawan yang bertendensi baik mungkin melalui berita memberikan masukan kepada pemerintah. Misalnya soal kerusakan jalan, disampaikan dalam pemberitaan soal kekurangannya seperti apa yang penting adalah faktual. “Itu perlu sihargai,” katanya.
“Kembali pada kodeetik,” kata hakim. Ketika seorang jurnalis harus berimbang, sekiranya ternyata tidak dikonfrontir tetapi langsung dimuat atas dasar ide dan pendapat.
Jika dalam proses pengaduan Dewan Pers menemukan fakta begitu tidak profesional, tidak beri ruang seimbang, tidak ada verifikasi fakta, maka sanksinya harus muat hak jawab dan permintaan maaf kalau ada pemberitaan negatif tentang pengadu.
Seandainya tenyata pengadu tidak menggunakan hak-hak seperti yang diatur oleh UU, semisal terhina, tercemar, dan tidak menggunakan hak jawab karena merasa terhina?
“Itu bisa,” ujar Winarto. Tetapi Dewan Pers mempunyai Memorandum of Understanding (MoU) dengan Polri. Bahwa ketika ada laporan terkait masalah pers maka akan minta pendapat DP dan itu sudah dilakukan.
Meski proses hak jawab, tetapi pihak keberatan bisa melanjutkan. “Namanya kan hak,” hakim berseloroh. Kalau begitu asumsinya, maka hak tidak mutlak harus dilakukan.
“Ya!” ujar Winarto.
Ada proses DP dalam perkara pers namun polisi kembali ke wenangan. Hakim juga hari ini melakukan kewenangan dan menerima perkara ini,” kata Ketua Majelis Hakim, Subai SH MH. (Bersambung)